“…Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi,” (QS. Al-Maaidah: 32).
Sadar akan jihad yang keliru saat dahulu bergabung dengan kelompok-kelompok radikalnya, kini Buya Ghazali menemui arti jihad yang sesungguhnya. Menurutnya jihad itu bukan menghancurkan apalagi membunuh orang hanya karena berbeda akidah dengan orang yang beragama Islam. Sebab ia menegaskan, Rasulullah SAW tidak pernah menyerukan untuk menyebarkan agama Islam melalui jihad apalagi untuk membangun suatu bangsa.
“Jihad itu bukan menghancurkan tetapi membangun, jihad itu bukan tentang perang dan menghalalkan darah orang yang tidak seiman dengan kita. Jadi jangan persempit makna jihad, karena dari pendidikan kita bisa berjihad dengan meningkatkan pengetahuan kita, dari pembangunan infrastruktur kita juga bisa berjihad untuk ikut membangun dan memajukan bangsa kita,” ungkapnya.
Jaringan Terorisme Ibarat Faktor Genetika
Pada tiga bulan pertama masuk ke pesantren, kebencian terhadap aparat kepolisian tampak nyata terutama saat berjabat tangan ataupun berjumpa. Hal tersebut karena adanya stigma yang dididik oleh orang tua para anak terkait paham radikalisme. Bahkan diantara mereka ada yang sudah pandai merakit bom. Namun setelah dibina, kebencian itu berubah dengan rasa nasionalisme yang besar, mencintai negara Indonesia, bercita-cita menjadi polisi, tentara dan melindungi merah putih.
Jaringan terorisme seperti komunitas yang didalamnya adalah anggota keluarga, jika ayahnya adalah teroris pasti ia akan menyebarkan pemahaman itu kepada anak-anaknya, sehingga akan timbul solidaritas ideologi pada lingkaran doktrin radikalisme. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa apabila orang tua adalah pelaku teroris maka cenderung akan mewariskan anak yang teroris, seperti ada faktor genetika. Hal ini dijelaskan oleh Ghazali yang juga mendapatkan pemahaman ini dari keluarganya.