Torang Sitorus, Kolektor Ulos Membangun Peradaban Lewat Kain Tenun Ulos

Semua dimulai dari rumah, Ibu yang melarutkanya dalam kecintaan pada ulos. Bisnis keluarga yang juga punya hubungan erat dengan kain membuat ia tumbuh bersama ulos. Pun begitu setiap liburan, sang ayah selalu membawanya liburan ke kampung, bertemulah ia dengan pengrajin, jadi memang peran doktrin orang tua punya andil besar.

“Awalnya sempat protes kenapa setiap liburan selalu diajak ke kampung, biasa kan orang Medan liburanya ke Jakarta, Malaysia atau Singapura, tapi kini saya sadar bahwa itu adalah proses yang diajarkan orang tua agar aku mencintai ulos,” papar Torang mengawali percakapan.

Selepas tamat SMA, Torang yang hyperaktif peka terhadap peluang, ia pun memutuskan untuk menim- bah ilmu ke gudangnya seniman, Yogyakarta. Sembilan bulan di sana, ia mendalami tekstil batik, “Ini bukan budaya ku, ngapain ku kerjain ini, tapi saat itu saya sudah bisa membatik,” cerita Torang.

Merasa ada yang kurang, ia pun terbang ke Bali, di sana baru lah matanya terbuka, bahwa seni itu adalah bisnis. Melihat barang-ba- rang seni yang dibanderol mahal, ia pun langsung teringat dengan koleksi ulos sang ibu, dari situ lah langsung terbayang ulos ini mau dibuat apa. Tiga setengah tahun waktu yang ia habiskan untuk pulang pergi ke Bali, ia memahami betul bagaimana ulos bila digunakan sebagai bahan tekstil, handycraft bahkan hingga menjadi alat untuk mempercantik interior rumah.

Tiga setengah tahun waktu yang ia habiskan untuk pulang pergi ke Bali, ia memahami betul bagaimana ulos bila digunakan sebagai bahan tekstil, handycraft bahkan hingga menjadi alat untuk mempercantik interior rumah.

“Pasar pertama ku adalah Jepang, mencoba mengkombinasikan ulos dengan pewarna alam, dibuat jadi taplak meja, bahan lampu hias, tapi itu hanya berlangsung satu trip, pejualannya tidak panjang, muter otak lagi, lalu saya pun dipertemu- kan dengan orang-orang hebatJo- sephine Komara, Ghea Pangabean dan Baron Manansang,” ujar Torang

Hobi yang Mahal

Bisa menghabiskan 50 Juta sekali beli kain yang punya nilai sejarah, membuat Torang di cap ‘gila’ oleh keluarga, sebab kecintaanya telah melebihi sang ibu, dan menjadikan hobinya ini kesenangan yang mahal.

“Stop, jangan berkelana lagi, jangan koleksi kain lagi ibu sempat melarang ku, tapi saya tetap melanjutkan hobi, pergi ke Sidney masuk ke toko antik, ke Paris pun yang di cari toko yang menjual barang antik, alasanya cukup jelas, ingin menjadi yang terbaik di dunia,” tambahnya.

Kini ia pun menikmati proses, den- gan tujuan yang telah ditetapkan, walau subsisidi dari orang tua telah dihentikan, tapi niatnya tak boleh padam, berkat berteman dengan desainer kenamaan, namanya pun mulai tersohor, “Efek pergaulan itu sangat besar, jaringan adalah aset, yang awalnya pembeli kini semua menjadi teman, uang pun mulai berkumpul,” tutur Torang.

“Indonesia ini sebenarnya besar, tapi terus terang, pecinta kain masih berpusat di Jakarta. Di Medan saja misalnya, belum banyak orang Batak yang mengapresiasi kain

ulos dengan baik. Jadi, bila ditanya pencapaian saya, saya sudah sangat bahagia bila kini kian banyak orang Batak yang mengenakan ulos untuk busana pengantin, karena sebelumnya mereka lebih memilih mengenakan songket,” tambah Torang.

Mimpi Punya Museum Ulos

Dari beragam jenis ulos, menurut Torang, setidaknya ada 10 ulos yang kerap digunakan masyarakat. Di antaranya ulos ragi hotang yang diberikan mertua kepada menantu laki-laki dengan maksud agar ikatan batin kedua pengantin teguh seperti rotan.

Ulos sedum tarutung diberikan kepada anak kesayangan yang membawa kegembiraan kepada keluarga. Harapannya sang anak membawa kebaikan dan mampu mencapai cita-citanya. Sementara ulos ragi idup, yang khusus untuk laki-laki, dapat dikenakan pada upacara dukacita dan sukacita. Ulos ini juga dapat diberikan kepada seseorang yang tengah berulang tahun atau baru memangku jabatan tertentu ataupun naik pangkat.

Kini semua koleksi ulos punya Torang bisa dilihat di museum mini miliknya, Museum mini ini terletak di sebuah rumah yang asri di Jalan Sultan Hasanuddin No 28 Kota Medan. Bersemayam di dalamnya 3000 lebih kain ulos, Ruangan-ruangan rumah disulap menjadi ruang pamer yang mengagumkan, dari ulos yang sudah berusia lebih dari 100 tahun hingga selembar selendang hasil karya anak-anak muda di Porsea yang menjadi binaannya.

Bersemayam di dalamnya 3000 lebih kain ulos, Ruangan-ruangan rumah disulap menjadi ruang pamer yang mengagumkan, dari ulos yang sudah berusia lebih dari 100 tahun hingga selembar selendang hasil karya anak-anak muda di Porsea yang menjadi binaannya.

Untuk menghasilkan kain yang bagus paling penting itu material bahan nya, penenun hanya bisa berkarya tidak tahu bahan, mereka terampil menghasilkan kain tapi memilah bahan bagus dan tidak mereka akan kewalahan.

Tumtuman masih yang menjadi primadona dari sekian banyak koleksi ia miliki. Pewarna alam adalah kunci kenapa banyak yang meminati ulos Torang. Pewarna alam diambil dari indigo, kayu mahoni, pinang, pewarna lumpur juga ada, hingga jamur dari kayu mati untuk menghasilkan warna hitam yang pekat. “Karena sebenarnya, banyak pewarna alami yang ada di sekitar kita, yang selama ini kita anggap sampah. Akan tetapi, ketika dikelolah, bisa menjadi pewarna alami,” sebutnya.

“Karena sebenarnya, banyak pewarna alami yang ada di sekitar kita, yang selama ini kita anggap sampah. Akan tetapi, ketika dikelolah, bisa menjadi pewarna alami,” sebutnya.

Paling mahal ulosnya pernah dihargai hingga 25 juta rupiah, dan pembelinya kebanyakan Luar Negeri. “Kenapa orang asing begitu menghargai ulos, karena proses yang panjang bisa sampai enam bulan atau lebih untuk menghasilkan sehelai ulos. Lalu untuk mendapatkan warna yang sesuasi harus menjemur ulang beberapa kali, proses yang panjang itu yang dihargai orang asing,” ucap Torang.

“Kenapa orang asing begitu menghargai ulos, karena proses yang panjang bisa sampai enam bulan atau lebih untuk menghasilkan sehelai ulos. Lalu untuk mendapatkan warna yang sesuasi harus menjemur ulang beberapa kali, proses yang panjang itu yang dihargai orang asing,” ucap Torang.

Sebelum mengalihkan dunia ke lain hal (membuat museum), Torang ingin buat pameran besar, ingin tunjukan pada dunia aneka ragam kekayaan suku Batak, karena ulos sendiri punya ribuan ragam jenis dan kegunaanya. “Aku nantinya akan punya museum sebagai bentuk dedikasi untuk bangsa ini, di Jerman dan belanda sudah pernah pameran, tapi masih ingin buat pameran yang besar den- gan seluruh koleksi ulos yang sudah terkumpul,” harapnya.

“Aku nantinya akan punya museum sebagai bentuk dedikasi untuk bangsa ini, di Jerman dan belanda sudah pernah pameran, tapi masih ingin buat pameran yang besar den- gan seluruh koleksi ulos yang sudah terkumpul,” harapnya.

Upah Penenun Tiga Kali UMR

Dahulu Danau Toba adalah salah satu tempat penghasil kain, masih dalam kandungan saja, calon bayi sudah diberi kain sebagai simbol penghormatan. Namun beberapa tahun belakangan jumlah kain hasil tenunan menurun, sebabnya adalah para penenun yang kian punah, banyak yang malu menjadikannya sebagai pekerjaan, alhasil banyak yang bertransmigrasi menjadi buruh di kota.

“Pola pikir ini yang coba saya rubah, saya katakan pada mereka, bahwa penenun itu adalah seniman, pelaku seni, Pengrajin itu terhormat, harus bangga menjadi seorang penenun, ”semangati Torang. Lima tahun lamanya Torang terus dampingi para penenun, lima metode yang berbeda terus ia upayakan agar mengembalikan semangat ulos seperti dulu. “Hasil tenunan pertama, masih belum bagus, hingga kain ke lima baru mulai bagus, lalu penenun bilang ke saya, tak bisa menenun seperti biasa, lalu meminta waktu untuk menenun selama sebulan dengan harga per kainnya Rp 2.500.000,” terangnya.

“Hasil tenunan pertama, masih belum bagus, hingga kain ke lima baru mulai bagus, lalu penenun bilang ke saya, tak bisa menenun seperti biasa, lalu meminta waktu untuk menenun selama sebulan dengan harga per kainnya Rp 2.500.000,” terangnya.

Orang pun mulai datang untuk melihat hasil tenunan secara langsung, tamu pun silih berganti membeli kain hasil karya tangannya.

Makin hari selendang ulos tenunan pengrajin makin rapih, hingga sekarang Torang harus merogoh kocek Rp7.500.000 untuk sehelai kain ulos premium.

“Tidak apa-apa, begini lah cara ku merubah paradigma yang salah menafsirkan penenun, pekerjaan yang dahulu banyak disangka sebagai hal memalukan, kini membuat puluhan orang penenun hidup sejahtera,”harapnya.

Saat ini, sentra penghasil ulos di daerah Batak Toba, antara lain, Bakkara, Balige, Silalahi, Paropo, Tongging, Meat, Samosir, Lumban Suhi-suhi, Toba Holbung atau Uluan, Muara, dan Tarutung. Menurut Torang, orang Batak itu pintar, sebab jauh seratus tahun yang lalu mereka sudah menenun dengan bahan chemical, yang sekarang baru digunakan orang bagian timur.

Baca Juga:  Perbedaan Lip Oil dan Lip Balm yang Jarang diketahui