Eks Teroris Khairul Ghazali Menjadi Pengajar di Ponpes Al-Hidayah, Begini Kisahnya…

“Para santri tidak kami izinkan menggunakan handphone, bahkan untuk menonton TV saja kami jadwalkan hanya malam minggu, dan tontonan yang kami sajikan juga film-film kartun atau yang bernuansa islami dan film motivasi lainnya,” kata Kartini Lubis, S.Pd.I yang merupakan kepala sekolah Pesantren Al-Hidayah sejak tahun 2016.

Metode Belajar Sambil Bermain

Suasana kelas yang tertib dan senyum ramah santri mencerminkan suatu metode istimewa yang dibuat oleh para relawan pengajar. Kedekatan emosional antara relawan dan santri menambah rasa kasih sayang yang erat layaknya orang tua dan anak. Para santri seperti tidak ada jarak dengan pengajar. Pada pembekalan materi life skill misalnya, di kandang ternak ayam yang terdapat di pesantren tersebut. Santri dan pengajar bersama-sama memanen telur ayam dan memberi makan ayam. Suasana ini dibangun agar santri menjadi lebih produktif.

Relawan tidak menargetkan para santri menjadi pintar di segala bidang. Kartini menyebutkan bahwa siswa diajarkan bukan untuk pintar tapi untuk bahagia. Siswa akan merasakan kejenuhan jika terus-menerus dipaparkan materi-materi pokok yang terkesan sulit. Cara belajar sambil bermain dan menjadikan relawan-relawan sebagai sosok sudah mampu membuat para santri merasa nyaman dan bahagia.

Baca Juga:  JW MARRIOTT Medan Hadirkan Menu Prime SteakHouse Oleh Chef Areza

Perasaan nyaman yang dirasakan para santri terbukti saat para santri telah selesai ‘mondok’. Mereka merasa sangat berat meninggalkan segala kenangan yang sudah diukir. Walaupun terkadang disertai hukuman seperti menulis ulang tulisan Alquran dengan jumlah halaman yang banyak justru memberi kesan yang tak bisa dilupakan.

Sebagai pengajar anak-anak dari tersangka terorisme, banyak tantangan menghadang. Salah satunya mengubah sikap temperamental mereka. “Pada saat pertama kali masuk, metode awal untuk menyikapi mereka, kami bermain tebak-tebakan tentang cita-cita dan kami coba untuk menjawab tentara, polisi, ternyata jawaban salah semua, rata-rata cita-cita mereka adalah menjadi seorang mujahid. Inilah yang menjadi tolak ukur kami untuk tindak lanjutnya seperti apa,” katanya.

Jihad Bukan Paham Radikalisme

Pria kelahiran 29 April 1965 ini menganggap pro dan kontra adalah hal yang wajar dialaminya dalam mendirikan pondok pesantren tersebut karena ia sadar akan penyimpangan akidah masa lalunya. Ia juga menegaskan, dalam Islam, membunuh seseorang yang tak bersalah itu tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan Alquran. Ia pun mengutip ayat dalam kitab suci Alquran yang berbunyi: