Eks Teroris Khairul Ghazali Menjadi Pengajar di Ponpes Al-Hidayah, Begini Kisahnya…

Perlunya Peran Pemerintah

Direktur Eksekutif Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Keumala Dewi menyangkal adanya faktor genetika tersebut.

“Anak-anak juga memiliki pemikiran sendiri. Pola asuh orang tua sangat menentukan pembentukan karakter anak. Upaya untuk mencegah doktrinisasi dini anak-anak tentang radikalisme adalah pengawasan dari pemerintah, tempat mereka menyekolahkan anak-anak, dan membuat program untuk keberagamaan. Pemerintah juga harusnya merangkul pemuka agama agar mereka dapat membantu merangkul para orang tua untuk memberikan teladan baik kepada anak anaknya,” ungkapnya.

Mengacu dari Sisi Psikologi Anak

Seorang psikolog terkemuka di Medan, Dra. Irna Minauli, M.Si. mengemukakan bahwa pada awal perkembangan anak setiap stimulus itu bersifat netral. Kemudian dalam perkembangan kehidupannya orang-orang dewasa di sekitarnya memberikan makna baik positif maupun negatif terhadap stimulus tersebut. Di situlah kemudian anak mulai memberikan nilai pada sesuatu hal.

Ia juga menjelaskan dalam proses belajar anak juga mengalami proses conditioning. Anak akan mengasosiasikan suatu stimulus dengan makna emosi tertentu. Misalnya ketika orang tua atau orang dewasa di sekitarnya memberikan kaitan antara polisi dengan sesuatu yang mengerikan maka setiap kali melihat polisi anak akan merasa ketakutan. Ketika polisi dikorelasikan dengan peristiwa yang menimbulkan kebencian maka setiap kali melihat polisi, anak akan merasakan kebencian tersebut. Di sinilah barangkali proses radikalisasi terjadi.

“Dalam proses pembelajaran yang dilakukan untuk menghilangkan radikalisasi itu, dilakukanlah proses reconditioning. Stimulus yang semula diasosiasikan dengan sesuatu yang negatif atau tidak menyenangkan diubah menjadi sesuatu yang positif atau menyenangkan. Inilah inti dari proses deradikalisasi.

Dalam proses belajar ini juga anak akan mengamati apa yang dilakukan orang lain dan bagaimana efek dari perilaku tersebut pada orang lain. Misalnya ketika anak melihat bahwa orang lain yang terlibat dalam kegiatan radikalisasi akan mendapat hukuman yang tidak menyenangkan maka anak akan belajar bahwa jika dirinya melakukan hal yang sama maka ia pun akan mengalami konsekuensi yang serupa. Dengan demikian ia akan berusaha untuk tidak melakukan perbuatan tersebut,” kata Irna yang juga merupakan dosen psikologi di salah satu universitas swasta di Medan ini.

Baca Juga:  10 Tips Menabung dari Berbagai Negara yang Bisa Kamu Terapkan

Dalam psikologi, proses belajar seperti ini dikenal sebagai vicarious learning. Hal ini dinilai cukup efektif untuk mencegah seseorang melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki dengan melihat akibat yang diderita oleh pihak lain. Selanjutnya, anak juga mengalami latent learning yaitu proses yang tanpa disadari anak telah mempelajari sesuatu dengan mengamati apa yang terjadi di sekitarnya. Proses ini biasanya baru terlihat setelah beberapa tahun kemudian. Pada awalnya, anak seolah tidak mempelajari sesuatu. Akan tetapi proses belajar itu bisa muncul setelah ia dewasa.

Brain Wash Cara Mengubah Pola Pikir

Terorisme lahir bukanlah dilatarbelakangi kekurangan ekonomi atau ketidakadilan hukum melainkan karena pematangan ideologi. Pemahaman radikalisme yang dilakukan orang tua dengan cara mencuci otak anaknya dan memberi sugesti seperti “Hari ini kita makan didunia dan setelah ini yakinlah nak kita akan bersama-sama di surga, karena ketika kita mati di jalan jihad pasti akan masuk surga” dan beberapa sugesti lainnya mampu mengubah pola pikir anak untuk tidak berbaur dengan teman-teman sebayanya, malah lebih memfokuskan untuk bisa berjihad dengan mengusung prinsip “Semakin cepat aku mati maka semakin cepat pula aku dan ayah-ibuku berkumpul di surga”.