Tragis dan Terharu, Beginilah Jejak Perjuangan Kemerdekaan di Tanah Deli Pada Masa Penjajahan

457

Tak Lekang Dimakan Zaman

Pada tahun 1957, Pemerintah Indonesia mengambil-alih Hotel de Boer. Sampai saat ini, sebagian besar bangunan Hotel de Boer masih dilestarikan demi menjaga nilai-nilai sejarah. Apalagi kini Grand Inna Medan masuk ke dalam cagar budaya dan pengelolaannya juga dinaungi oleh pemerintah. Didampingi oleh M.A. Remi, Assistant Director of Sales Grand Inna Medan, tim Kover Magazine menelusuri penjuru-penjuru hotel.

Beberapa bagian yang masih bertahan dari zaman dahulu bisa dilihat pada Lobby De Boer yang merupakan smoking area. Pada masa lampau lobby ini dijadikan tempat para tamu kehormatan hotel bersigaret. Lobby ini dilengkapi tangga beserta balkon yang menghubungkan lantai dasar dan lantai atas.

Selain Lobby De Boer, restoran utama juga masih menggunakan perabotan zaman dahulu seperti meja dan kursi kayu. Begitu pun lantai pada restoran tetap bertahan dengan warna hijau sejak awal hotel ini didirikan.

Beberapa peralatan dapur berupa piring dan gelas kaca yang digunakan saat Hotel de Boer beroperasional, diamankan di dalam sebuah lemari. Benda-benda tersebut walaupun warnanya sudah kusam namun ukiran “De Boer” masih jelas terlihat.

Desain plafon hotel ini juga sebagian besar masih berasal dari masa lampau. Lampu-lampu yang menghiasi ruangan dipertahankan sedemikian rupa agar tetap berfungsi layaknya dahulu kala. Di sudut ruangan lain, terdapat sebuah piano tua yang konon sering digunakan sang pendiri hotel. Uniknya, keseluruhan rangka hingga tuts pada piano, terbuat dari kayu nan kokoh.

GEDUNG PEMUDA

Beralamat di Jalan Istana (sekarang Jalan Pemuda) No. 17 Medan, gedung ini pada awalnya dinamakan Gedung Pemuda sebelum berubah menjadi Gedung Juang 45. Cikal bakal gedung ini berbentuk rumah panggung dengan sebuah sumur pada beranda depan. Pada waktu itu, rumah panggung ini memanjang ke belakang sampai perbatasan rel kereta api, namun sekarang gedung ini sudah langsung berhadapan dengan Jalan Pemuda.

“Mulanya dinamakan Gedung Pemuda karena waktu itu pemuda belum berjuang. Setelah dibentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI) dan mereka memanggul senjata untuk berjuang barulah diganti (namanya) jadi Gedung Juang,” tutur Muhammad TWH.

Markas Para Pejuang

Gedung Juang menjadi saksi bisu bersejarah lantaran menjadi kediaman BOMPA (Badan Oentoek Membantoe Perang Asia). Dibentuk pada 28 November 1943 oleh Jepang, BOMPA bertujuan memberikan dukungan bagi keperluan perang Jepang. Prajurit BOMPA inilah yang pada akhirnya membelot untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Baca Juga:  Cara Mengaktifkan Fitur Background Blur Zoom Meeting di Hp dan Laptop

Pada tanggal 26 Agustus 1945 atas prakarsa Achmad Tahir dan pemuda lainnya, dibentuklah panitia penampungan bekas Gyugun dan Hei Ho yang sudah dibubarkan Jepang. Mereka mengadakan rapat di Gedung Pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan, namun diketahui oleh pihak Jepang hingga akhirnya rapat dipindahkan ke Asrama Fuji Dori No. 6. Pertemuan konsultasi tersebut berubah menjadi rapat besar pada tanggal 23 September 1945.

“Ada 54 orang yang rapat, masing-masing pemuda seolah-olah sedang makan siang agar tidak ketahuan. Di situlah diputuskan, mereka harus menggalak leher untuk mempertahankan kemerdekaan,” ungkap Muhammad TWH. Rapat tersebut mempersiapkan pemuda-pemuda untuk menyambut proklamasi di Sumatra Utara.

Di bawah pimpinan Achmad Tahir ex Opsir Gyu Gun didampingi tokoh lainnya seperti Abd. Karim Ms, ex Boven Digul, Sugondo Karto Projo dari Taman Siswa, Saleh Umar dari Gerindo, Natar Zainuddin dari kaum komunis, dan tokoh lainnya, dibentuklah organisasi pemuda untuk menyambut gerakan kemerdekaan bernama BPKI (Badan Kebaktian Pemuda Indonesia) berganti menjadi BPI (Barisan Pemuda Indonesia) hingga berubah menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang bermarkas di Gedung Pemuda ini.

Potret Teranyar

Kini di dalam Gedung Juang 45 dapat ditemukan relief-relief masa perjuangan para pahlawan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di wilayah Sumatra. Ada juga surat peninggalan Soeharto, Presiden Republik Indonesia yang ditandatangani pada 19 Agustus 1974 dan dipigura pada dinding gedung.

Gedung Juang 45 saat ini juga menjadi kantor Dewan Harian Daerah (DHD) Badan Pembudayaan Kejuangan 45 Provinsi Sumatra Utara yang saat ini diketuai oleh Nurdin Lubis.

Beberapa perabotan seperti meja dan kursi yang ada di gedung ini merupakan peninggalan sejak dahulu kala. Terlihat juga dua pilar pada bagian dalam ruangan yang tetap kokoh menopang gedung. Lantai dua bangunan ini terdapat Museum Uang yang menyimpan koleksi alat tukar zaman dahulu, mesin cetak uang beserta alat potong uang.

Selain kelima gedung peninggalan bersejarah di atas, masih banyak bangunan lain yang memiliki nilai histori dan layak untuk dikunjungi sebagai bentuk penghormatan kepada para pejuang dan pahlawan bangsa yang telah berkorban untuk kemerdekaan Indonesia. Sudah seharusnya generasi muda menghargai sejarah di tengah maraknya kecanggihan teknologi masa kini.


Warning: A non-numeric value encountered in /home/kovermag/public_html/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 353