Penulis M. Sahbainy Nasution | Fotografer Vicky Siregar
Dulu, Bioskop dibuat sebagai ajang silaturahim kalangan atas untuk berbisni. Kini, berevolusi menjadi tempat hiburan kaum urban.
Perkembangan pesat Kaumpung Meidan menjadi kota Medan, terjadi pada saat penetapan sebagai ibu kota Afdeling Deli en Serdang pada tahun 1886. Kemudian ditetapkan lagi menjadi ibu kota Karasidenan Sumatera Timut pada tahun 1887. Puncaknya Meiden sebagai Gemente pada 1 April 1909. Suatu hal yang patut dicatat dari pertumbuhan dan perkembangan ini, ialah pluralitas dan moderentitas yang dialami oleh sebuah kampung menjadi kota yang modern diawal abar ke-20 yaitu Kota Medan.
Salah satu hal yang menarik dari pertumbuhan dan perkembangan kota terbesar ketiga di Indonesia ini adalah, munculnya pusat hiburan masyarakat seperti bioskop atau teater. Walaupun sejak awal, kemunculan bioskop ini masih terbatas kalangan elit.
“Awalnya, kemunculan bioskop ini masih terbatas pada kalangan elit seperti panters (tuan kebun), meneer (nyonya kebun), pemerintah kota praja (Gemente bestuur) ataupun orang Eropa dan Asia Timur lainnya,”terang Erond L Damanik selaku wakil Pusat Sejarah dan Ilmu Sosial (PUSIS) Universitas Medan (Unimed).
Sambungnya, kehadiran bioskop di Medan saat itu, menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat di era kolonial, disamping pusat-pusat hiburan seperti kolam renang ataupun berlibur ke Parapat maupun Berastagi. Bioskop yang pertama sekali dibuat oleh Belanda adalah de Oranje Bioscoop pada tahun 1889 yang dimiliki oleh Michael. Lokasi di Jalan Bali di sekitar pusat pasar. Posisinya tidak jauh dari jembatan Titit Gantung yang saat ini lahannya menjadi bangunan Viahara.
Bioskop yang pertama dibuat ini, meruapan teater pertama yang menggunakan gabar hidup, tapi masih bisu, sehingga disebut dengan gabar bisu. Film yang diputar adalah tentunya kisah Belanda maupun Eropa. “Pengunjung bioskop di tempat ini kebanyakan dari orang Eropa yang tinggal di Medan, ataupun tuan kebun yang berinvestasi,”ucapnya.
Tak hanya sekedar menonton sebagai tempat hiburan saja, bioskop ini juga berfungsi bersilaturahim sesama panters berserta istri-istri dan anak-anaknya. Berarti, kata Erond bioskop menjadi sarana sosialisasi, bercengkrama dan membentuk ikatan relasional sesama penonton yang turut serta dalam bioskop tersebut.
“Hal ini tentu jauh berbeda dengan bioskop masa kini, yang cendrung berorientasi pada layanan konsumen untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi. Demikian pula penonton cendrung tidak memiliki hubungtan relasional ataupun tidak berupaya membentuk hubungan lain kecuali hanya untuk menghabiskan waktu disela-sela kepenatan kerja,”kata Erond.
Bioskop Sempat Menjadi Markas Militer
Singkat cerita, ketika bioskop semakin diminati oleh kalangan atas atau bangsawan. Pihak pemerintah Belanda tak menyia-nyiakan untuk memunculkan cabang lainnya.
Setelah de Oranje Bioskop, bermunculan bioskop lain seperti Rex Bioscoop pada tahun 1918, kemudian disusul oleh Deli Bioscoop. Tiga tahun kemudian, Astroria Bioscopp, Tjong Koeng Tat Bioscopp, dan Deli Bioscoop. Berselang dua tahun kemudian Imperial Bioscopp di Brayan, Orion Bioscop pada tahun 1931 di Jalan Gatot Subrot, serta Olympia Bioscoop pada tahun 1951.
“Olympia Bioscoop dirancang oleh arsitek kenamaan yakni J.M Hans Groenowegen. Beliau juga banyak merancang bangunan di Medan seperti, Saint Elisabeth Hospital, Pricess Beatrix School atau sekolah Imanuel, rumah gubernur, walikota dan lainnya,”ucapnya.
Tapi, kata Erond, menggeliatnya bioskop itu sempat terhenti karena kekalahan Belanda menghadapi Rusia dan Jepada di tahun 1942, seluruh bioskop ini mati suri. Aktifitasnya menjadi terhenti dan pemilinya pun melarikan diri. “Sewaktu era Jepang di Medan, bioskop-bioskop ini sebagaian diantaranya tetap difungsikan, tapi untuk markas milisi Jepang,”ucapnya.
Lanjutnya, tempat teater tersebut sangat cocok untuk kantor, peristirahat maupun tempat persimpanan senjata-senjata. Negara yang berjuluk Matahari Terbit tersebut, alasan bioskop dijadikan market karena sangat meminimalisir dana untuk pembangunan. “Namun, markas Jepang tersebut tak lama dikuasai, karena Jepang menyerah dengan sekutu dan Nica. Negara mereka lumpuh akibat bom atom Hirosima dan Nagasaki,”ujarnya.
Tak jauh berbeda apa yang dilakukan oleh Jepang, tempat bioskop tersebut dijadikan markas milisi Belanda dan sekut. Aktifitas yang awalnya menjadi tempat nonton atau pertemuan, menjadi terhenti karena Medan menghadapi revolusi fisik seperti, agresi Belanda I dan II ataupun Perang Medan Area yang berkecamuk hingga tahun 1949.
“Setelah pemerintah Indonesia mengambil alih, karena Nica dan sekutu menyatakan kedaulatan Indonesia, diambil alih bioskop itu. Hanya kepemilikannya sudah dikuasai oleh militer Indonesia. Tak terkecuali rumah elit di Polonia yang disebut Europeanwijk ke tangan militer maupun pribadi inlanders (Pribumi),”jelas Erond.
Setelah diambil penuh oleh militer Indonesia, nama bioskop yang dulunya nama Belanda diganti nama Indonesia. Hal ini bertujuan agar tampak baru dan menghilangkan jejak kolonial yang ada pada bangunan tersebut. Misalnya De Oranje Bioscopp karena pasca merdeka menjadi Bioskop Bali atau Rex Bioscoop menjadi Ria Bioskop dan lainnya.
“Pengalihan nama itu, sudah berimbas kepada jalan-jalan di Medan, tak terkecuali lahir Kota Medan yang sebelumnya 1 April 1909 diganti menjadi 1 Juni 590. Menganti nama ini juga tak lepas dari meningkatnya sentiment anti Belanda pada tahun 1960an, ”ujarnya.
Bioskop Terintergrasi Pusat Perbelanjaan
Setelah Indonesia sudah merdeka sepenuhnya. Perekonomian di perkotaan mulai tumbuh lagi, tak terkecuali bioskop. Pada tahun 1960an, bioskop kembali difungsikan menjadi tempat hiburan, namun sudah boleh dilahat oleh lapisan masyarakat.
Erond mengatakan, semangat Presiden Soekarno kala itu menjadi Negara mandiri, termasuk flim yang disajikan harus nasional. Bermunculah nama-nama tenar seperti Benjamin Sueb, Dono, Kasino dan Indro atau dikenal dengan Warkop DKI dan film lainnya.
“Ketika itu, masyarakat sangat senang menonton film tersebut, selain menampilkan ke khas Indonesia, masyarakat sangat terhibur dengan tingkah laku akting para legend tersebut,”ujarnya.
Sontak ketika itu, artis-artis dalam film bioskop tersebut menjadi banyak penggemar, tak terkecuali kalangan mahasiswa. Kata Erond, banyak bermunculan seni-seni teater di setiap kampus-kampus di Medan. “Akhirnya, banyak juga seniman Medan yang merantau ke Jakarta menjadi artis nasional karena memiliki bakat yang baik,”ujarnya.
Seiringnya zaman yang semakin terbuka, bioskop peninggalan kolonial tersebut juga memutar film dari Malayasia seperti Permilie. Namun, perkembangan waktu pada tahun 1980an, bioskop warisan itu mengalami tantangan berat sejalan dengan masuknya monopoli film dengan bioskop yang lebih modern.
“Bioskop kolonial tersebut kalah bersaing dengan bioskop lainnya, karena sudah menggunakan dolby stereo dan menyajikan film Hollywod, India dan Mandarin. Akibatnya, bioskop warisan tersebut banting setir dengan memutar film biru baik semi yang dibintangi oleh aktris dan actor Indonesia maupun dari luar negeri,”ujarnya.
Singat cerita, walaupun bioskop warisan kolonial sudah membuat terobosan,hanya saja masih kalah bersaing. Mengingat, persaingan cinema semakin ketat dengan menggunakan teknologi terbaru. Kata Erond, bioskop yang berkembang di Medan tersebut sudah menggunakan Video Cassetle Recorder (VCR) yakni film yang dikemas dengan bentuk gulungan pita film.
“Kemudia berkembang lagi teknogi laser disk yang memakai teknologi film yang dibuat dalam DVD. Terakhir dan sampai saat ini berevolusi menjadi film telah dikemas dalam Video Compact Disc (VCD),”ucap Erond.
Erond mengatakan, ketika bisnis bioskop semakin berkembang. Pihak pemilik bukan lagi membuat tempat itu tersediri, melainkan menyatu dengan kawasan perbelanjaan modern atau mall karena sudah menyatu dengan tempat hiburan lainnya.
“Bisa dikatakan sudah terintegrasi dengan pusat perbelanjaan, sebut saja Theater 21, XXI maupun Cineplex dan lainnya. Karena saat ini bioskop menjadi tempat hiburan semata, bukan zaman Belanda yang merupakan pertemuan antar bisnis maupun tuan kebun,”tambahnya.
Bioskop Medan
- Bioskop buatan Belanda sudah tidak ada lagi karena sudah hilang atau alih fungsi
- Dulu, penonton hanya orang Belanda, Eropa maupun kalangan bisnis yang bisa ke bioskop
- Rex Bioscoop saat ini menjadi Restoran Ria
- Bioskop kolonial sempat memutar fim biru (Porno)
- Belanda sudah mempromsikan bioskop di surat kabar sejak tahun 1931
- Tahun 1960 an, masyarakat kalangan bawah sudah diperbolehkan menonton bioskop