Kita tahu, kehidupan surat kabar Indonesia pada masa orde lama begitu sulit dan penuh perjuangan. Selain sukar menembus blokade Belanda, bahan baku kertas juga susah didapat. Perjuangan untuk terbit pun membutuhkan usaha keras.
Terbit pertama kali tahun 1947, surat kabar rintisan pasangan suami istri asal Medan ini hadir dengan moto “Demi Kebenaran dan Keadilan”. Moto tersebut diusung Ani Idrus dan H. Mohamad Said bukan tanpa alasan. Selama perjalanannya, surat kabar Waspada sudah diberedel berulang kali karena melawan Belanda. Larangan terbit diterima hingga lima kali bahkan buka paksa kantor dan percetakan oleh militer Belanda pun pernah terjadi.
Terbitan pertama habis terjual hingga 1000 eksemplar meski format penerbitan hanya setengah halaman. Tak berhenti di situ, melewati masa orde baru juga tak ada bedanya dengan masa orde lama, masih lekat dengan ancaman beredel. Apalagi kalau bukan lewat ancaman pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan (SUIP) atau telepon tiba-tiba dari pejabat militer (ABRI). Kebebasan pers kala itu memang tidak berjalan secara efektif.
Walaupun demikian, semangat dan ketangguhan tersebutlah yang akhirnya menarik minat Rayati Syafrin untuk serius menggeluti dunia surat kabar. Padahal wanita kelahiran Desember tersebut sebenarnya adalah seorang dokter. Ya, Rayati merupakan alumni Fakultas Kedokteran USU yang akhirnya memutuskan untuk total berkecimpung hingga menjadi Pemimpin Umum karena kagum dengan semangat kedua orang tuanya mendirikan surat kabar di masa sulit dan menjadikan surat kabar sebagai corong pejuang kemerdekaan.
“Dari awal saya sekadar ikut-ikutan saja. Namun akhirnya benar-benar tertarik dan memutuskan untuk berkecimpung total. Ilmu Kedokteran saya gunakan ketika saya menjadi dokter keluarga saja,” ceritanya.
Perjalanan Lima Dekade Waspada
Selama 50 tahun lebih Rayati terjun dalam dunia surat kabar di Medan. Tak hanya mengikuti jejak kedua orang tua, Rayati menekuni berbagai bidang terkait seperti periklanan. Ia juga mengikuti bermacam kongres persuratkabaran baik di dalam maupun luar negeri. Menghadiri Royal Wedding Pangeran Charles dan Lady Diana pada 29 Juli 1981 hingga diundang Tun Dr. Mahathir Mohamad, mantan Perdana Menteri Malaysia pada 1 April 2019 lalu.
“Sebelumnya Waspada sudah terlebih dahulu mengundang beliau mengisi seminar terkait Good Governance pada 2016 dan 2017. Saya berharap lewat seminar tersebut masyarakat mendapat manfaat dan belajar bagaimana menjadi pemimpin yang baik,” ujarnya.
Hari ini surat kabar Harian Waspada berhasil membuktikan diri, menembus usia 72 tahun selalu terbit tanpa jeda meski melewati berbagai tantangan. Termasuk ketika si jago merah di tahun 1980 melahap dengan ganas bangunan kantor Waspada yang sudah berdiri sejak tahun 1947 tersebut.
“Tidak mungkin saya lupakan saat kantor Waspada terbakar. Seluruh isi kantor termasuk percetakan mengalami kerusakan berat namun Waspada tetap terbit seperti biasa. Tetap hadir di tengah masyarakat meski delapan halamannya berwarna hitam putih,” kenang Rayati.
Bersinergi dengan Media Online
Rayati meyakini jika tiap zaman memiliki tantangan tersendiri. Namun dengan kerja cerdas, semua tantangan akan memberikan pelajaran dan kesannya masing-masing. Semua bisa dilewati dengan baik, dan fungsi sebagai media tetap dijalankan.
Begitupun dengan menghadapi persaingan antar media massa di era digital yang semakin sengit. Mulai dari media cetak, elektronik seperti televisi dan radio diisukan akan tenggelam dengan hadirnya media online. Bahkan muncul anggapan jika kehadiran media online perlahan mematikan media cetak karena informasi yang disajikan kalah cepat dan aktual.
“Pembaca saat ini sudah lebih cerdas dalam menentukan informasi yang akan di aksesnya. Masyarakat pun bisa memutuskan sendiri akses informasinya lewat apa. Namun inilah tantangannya dan bukan berarti harus mundur. Lebih giat dan tidak patah semangat,” jelas wanita yang senang membaca ini.
Informasi dari sebuah peristiwa harus disajikan secara mendalam dan aktual. Ini penting untuk menarik perhatian publik. Gencarnya pemberitaan lewat media online harusnya bisa memberikan sinergi yang baik dalam penyampaian ragam informasi ke tengah-tengah masyarakat.
“Inilah mengapa jurnalis harus terus belajar, mengasah dan meningkatkan kemampuan tidak hanya dalam menulis namun mengikuti kemajuan teknologi. Wartawan harus punya banyak kemampuan (multitasking) karena jika tidak profesionalisme, hanya sebuah keniscayaan. Jangan cepat berpuas diri karena tantangan semakin kompleks,” tambahnya.
Wanita yang dulunya aktif berolahraga bowling tersebut mengumpamakan lewat salah satu film favoritnya, The Towering Inferno. Film yang disutradarai oleh John Guillermin tersebut berkisah tentang gedung tertinggi dunia yang terbakar. Peran penyelamat dalam membebaskan penghuni gedung dari kepungan api yang sangat berbahaya bisa menjadi contoh bahwa kita tak boleh berputus asa dalam keadaan apapun.