Beberapa brand pakaian internasional yang populer menghadapi penutupan massal di 2020. Meskipun beberapa retailer mengalami peningkatan belanja online, pandemi virus corona membuat perbelanjaan di dalam toko-toko terhenti, membuat mereka yang tidak memiliki bisnis e-commerce yang baik dalam masalah serius. Beberapa merek dan toko pakaian internasional yang juga ramai di Indonesia telah menutup ratusan toko mereka di seluruh dunia. Fashion akan tetap penting, namun suasananya akan sangat berbeda di 2021.
Gap Inc.
Seperti dilansir dari Business Insider, Gap Inc. baru-baru ini mengumumkan akan mulai keluar dari mal dan menutup 350 toko sebelum 2024. Akibatnya, 80% dari toko Gap yang tersisa akan berlokasi di lokasi di luar mal. Gap telah menutup 40 toko secara global pada awal 2020 sebagai bagian dari rencana untuk menutup 230 toko selama dua tahun. Dua puluh sembilan dari penutupan tersebut terjadi di Amerika Serikat.
Victoria’s Secret
Victoria’s Secret sudah mengalami penurunan sebelum pandemi dan mengumumkan pada bulan Mei bahwa mereka berencana untuk menutup hingga 250 toko di AS dan Kanada. L Brands, perusahaan induk dari Victoria’s Secret, mengumumkan pada bulan Mei bahwa mereka akan menutup 251 toko di AS dan Kanada. Menurut Forbes, penyebabnya adalah penjualan bersih Victoria Secret turun 46% pada kuartal fiskal pertama tahun 2020, sebagai dampak dari pandemi.
Zara
Pemilik Zara, Inditex, mengumumkan pada bulan Juni tahun lalu bahwa mereka akan menutup 1.200 toko di seluruh dunia. Seperti yang dilaporkan Business Insider sebelumnya, toko-toko tersebut akan tutup dalam dua tahun ke depan, perseroan berencana mengalihkan fokusnya ke penjualan online.
Guess
Guess mengatakan pada bulan Juni 2020 bahwa mereka berencana menutup 100 lokasi di seluruh dunia dalam 18 bulan. Pengakuan Chief Financial Officer, Katie Anderson kepada Bloomberg adalah bahwa Sejak bulan Juni seluruh karyawan toko diberhentikan, setengah pegawai perusahaan dirumahkan, dengan gaji yang dipotong sampai 70 persen.
Prediksi untuk tahun 2021
Pada akhir tahun 2020, Forbes membuat prediksi terhadap industri ritel fashion:
1) Akan ada lebih banyak kebangkrutan di semua sektor. Namun, positifnya, banyak perusahaan akan melihat kesulitan yang dihadapi selama COVID sebagai kesempatan untuk menyeimbangkan kembali dan memperlengkapi kembali bisnis mereka, seperti memperkuat aspek risk management, restrukturisasi perusahaan, atau bahkan menyiapkan fleksibilitas dalam sistem sewa toko-toko ritel mereka di seluruh dunia.
2) Penjualan pakaian dan sepatu akan kembali kuat, bahkan lebih cepat dari yang kita pikirkan. Tapi, apa yang orang ingin pakai dan bagaimana mereka membelinya akan berbeda.
3) Bersiaplah untuk lebih banyak lagi startup, merek, dan model manufaktur yang lebih inovatif. Salah satu contohnya adalah model Consumer-to-Manufacturer (C2M), yang telah terbukti berhasil. Dengan model seperti ini, pabrikan di China yang memiliki kapasitas signifikan, misalnya, akan menawarkan sejumlah besar desain langsung kepada konsumen melalui berbagai platform yang aplikasinya dengan mudah di-download di gadget konsumen, kemudian pemesanan akan diproduksi di fasilitas mereka. Saat dipesan, barang dengan cepat dibuat sesuai pesanan dan dikirim untuk tiba dalam beberapa minggu.
Fasilitas manufaktur berputar untuk memproduksi barang setelah pesanan diterima, bukan sebelumnya, bergeser dari Design-Make-Sell ke Design-Sell-Make. Konsumen rela menunggu karena harganya menarik dan mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, dan produsen dimudahkan dan tentu saja, diuntungkan.
Tahun 2020 mungkin telah menjadi tahun kekacauan massal, namun ingatlah, dengan kekacauan datanglah peluang. Jelas, tahun 2021 akan menjadi peluang besar bagi mereka yang merangkul perubahan dan memandang ke depan untuk mengantisipasinya.