Pemuda Ini Rela Lepas Pekerjaannya demi Mendidik Anak Putus Sekolah

Penulis: Indriyana Octavia
Fotografer: Aldi Reynaldi

Pengalaman Yogi berhenti kuliah lantaran kondisi finansial yang tidak mencukupi, tak memadamkan semangatnya untuk tetap belajar. Di tangannya, lahir Semut Semut, program sosial untuk mewadahi anak putus sekolah demi taraf hidup yang lebih baik.

Pria kelahiran Medan, 29 Januari 1994 ini begitu peduli dengan pendidikan. Baginya, pembangunan ekonomi suatu negara bergantung kepada pendidikan masyarakatnya. Jika warga negara mengenyam pendidikan dengan baik maka pembangunan ekonomi akan mengalami kemajuan.

“Aku percaya, kita enggak benar-benar membangun ekonomi kalau kita enggak membangun pendidikan. Contohnya orang bodoh dibantu 1 miliar pun enggak tahu mau buat apa, karena enggak punya pendidikan untuk bisa mengolah modal usaha dan perputaran uang. Kalau orang pintar sudah tahu cari uang tanpa bantuan, malah bisa buka akses sendiri,” jelas Yogi.

Ide membangun program sosial bernama Semut Sumut sudah terlintas di benak Yogi sebelum ia diterima bekerja di perusahaan dengan posisi mapan di Jakarta. Beruntung, Semut Sumut terpilih menjadi salah satu program yang dimentori oleh Achmad Zaky, pendiri dan CEO e-commerce Bukalapak. Demi mewujudkan impiannya membangun Semut Sumut, Yogi pun rela melepas pekerjaan barunya.

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, jumlah anak putus sekolah lebih banyak dibandingkan jumlah lulusan sarjana, terutama di Sumatera Utara. Namun karena anak putus sekolah tersebar di berbagai daerah, kebanyakan orang tidak menyadarinya. Keresahan ini pula yang menggagas Yogi untuk memberi andil lewat Semut Sumut.

“Kenapa kita merasa mahasiswa banyak, karena mereka berkumpul di kampus, sedangkan anak yang putus sekolah menyebar sehingga tidak terlihat dan dianggap enggak ada, padahal ini termasuk dalam bonus demografi Indonesia. Pertanyaannya apakah ini akan mengangkat Indonesia menjadi lebih baik atau lebih buruk?” tutur Yogi.

Pendiri Semut Sumut

Dirintis sejak 9 Agustus 2018, Semut Sumut hadir untuk mewadahi para anak usia 16-25 tahun yang putus sekolah karena keadaan finansial. Layaknya seekor semut yang walaupun kecil namun bisa mengangkat beban besar melebihi ukuran tubuhnya, seperti itulah harapan Yogi kepada siswa di Semut Sumut agar bisa meraih taraf hidup yang lebih baik.

Berangkat dari pengalaman pribadinya yang tak bisa melanjutkan kuliah lantaran kekurangan biaya, Yogi berusaha mempelajari berbagai keterampilan guna mempertahankan kelangsungan hidupnya. Keadaan sulit tak pernah mematahkan semangat dan harapannya.

“Tahun 2014 aku ikut SIMAK UI, lulus di Ilmu Filsafat tapi kondisi finansial orang tua tidak mendukung. Uang tiket, ongkos, uang pendaftaran UI juga besar, akhirnya aku lepas. Paling enggak aku pernah nih diterima di UI walaupun enggak sempat pakai jaketnya. Aku coba masuk UMSU sampai UAS semester empat dan berhenti karena keadaan,” cerita Yogi.

Kegagalan menyelesaikan pendidikan sarjana tentu bukanlah hal yang mudah. Yogi mulai berpikir bagaimana agar tanpa ijazah ia tetap bisa bersaing dengan para wisudawan dalam mencari pekerjaan. Ia menyadari bahwa dengan menguasai beberapa keterampilan, seseorang bisa saja memiliki pekerjaan yang lebih baik.

“Aku berpikir kayak mana orang-orang dengan latar belakang pendidikan formal yang enggak bisa achieve, putus kuliah atau sekolah, enggak punya ijazah tapi bisa survive. Kalau kita ucapkan pekerjaan yang layak, paling pelayan restoran atau office boy. Kalahnya saat ini mereka enggak punya ijazah doang, jadi yang harus dibangun dari sisi praktisinya. Bagaimana supaya mereka bisa bekerja profesional sama seperti anak sarjana,” ungkap anak keempat dari lima bersaudara ini.

Raih Penghargaan Inovator Muda

Semut Sumut mengantarkan Yogi meraih penghargaan dari Konsorsium SDG PIPE (Pemuda Indonesia Penggerak Perubahan) sebagai peringkat pertama di kategori pendidikan. Program ini diinisiasi oleh Go Global Indonesia bersama Campaign, PIRAC dan Filantropi Indonesia ditujukan kepada young changemakers di Indonesia.

Tak pernah terlintas di benak Yogi, ia akan mendapatkan penghargaan tersebut karena selain jumlah saingan yang tidak sedikit, Semut Sumut pun baru beberapa bulan berjalan. Sebanyak 138 proposal yang diterima panitia, dipilih 20 semi finalis yang akan memberikan presentasi di Jakarta. Dari ke-20 semi finalis tersebut, Semut Sumut masuk dalam urutan 10 besar.

“Pas 10 besar kami pitching lagi di depan juri dan calon investor. Kami di round table terakhir. Meja lain sibuk pasang brosur, jualan ini itu. Di meja Semut Sumut cuma ada satu tulisan ‘we are closed for any investment’. Kami menolak investor, kami enggak perlu investor karena dalam investment pasti ada rules yang harus payback sekian persen beberapa tahun ke depan, sedangkan kami enggak ada modal bisnis yang menjanjikan untuk balik ke mereka,” jelas Yogi.

Baca Juga:  Perbedaan Lip Oil dan Lip Balm yang Jarang diketahui

Yogi juga menambahkan bahwa jalan keluar untuk masalah pendidikan sebenarnya bukanlah melalui jalur investasi. Menurutnya, para investor hanya menaruh sejumlah uang tanpa peduli masalah apa yang dihadapi si penerima investasi. Yang menjadi fokus utama para investor adalah apapun ceritanya, uang mereka harus kembali.

Siapa sangka, prinsip tersebutlah yang membawa piala kemenangan menghampiri Yogi. “Awalnya kami merasa ‘ah enggak mungkin menang’ karena kami awalnya berangkat memang bukan untuk menang, meskipun ada hadiah di situ. Ternyata terpilih dan dapat hadiah capacity building di Jakarta selama seminggu kemudian ke Kamboja dua minggu. Sempat mengajar beberapa biksu, anak-anak dan sharing social project, baru balik lagi ke Jakarta untuk training,” ujarnya.

Rilis Aplikasi E-Learning

Untuk menjangkau anak-anak putus sekolah yang tak hanya berdomisili di Medan, Semut Sumut akan meluncurkan aplikasi E-Learning dan Project Base yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat di penjuru Indonesia. Nantinya aplikasi ini akan dibagi menjadi dua kategori, yakni untuk siswa Semut Sumut dan untuk pengunjung umum.

“Penginnya ini jadi platform yang menghubungkan antara klien atau company dengan murid Semut Sumut. Klien bisa lihat project anak-anak di sini, kalau tertarik ingin pakai jasa si anak, tinggal text saja. Soal harga terserah kesepakatan mereka. Aplikasi ini juga akan kami bawa “jualan” ke Spanyol, September nanti,” tutur Yogi.

Yogi juga berharap Semut Sumut bisa membantu lebih banyak anak putus sekolah di masa yang akan datang karena pesan yang masuk melalui media sosial Instagram dari beragam kota di Indonesia seperti Padang, Yogyakarta hingga Surabaya kerap meminta bantuan Semut Sumut.

“Kami fokus program ini terbukti dan tervalidasi karena kalau orang lihat secara narasi bagus nih tapi belum tentu tercapai semua tujuannya. Kami hold dulu lah, karena masih struggle. Nah kalau sudah, kita berharap bisa buka di berbagai kota. Jangka panjangnya pengin buat mahasiswa jiper, ketika melamar pekerjaan saingannya ada anak putus sekolah yang punya skill,” ucap pria yang hobi nge-band ini menjelaskan.

Berikan Program Life Skill

Berbeda dengan sekolah dan perguruan tinggi lainnya yang menawarkan bidang studi formal, Semut Sumut menyediakan life skill graphic design, videographic, public speaking, music dan english. Mengandalkan life skill tersebut, para murid bisa menciptakan portofolio profesional disertai dengan attitude yang baik agar dapat menarik minat perusahaan atau klien.

Beralamat di Jalan Laksana No. 9 Tanjung Rejo Medan, saat ini Semut Sumut sudah mendidik 49 murid dengan 10 pengajar. Proses belajar mengajar berlangsung dari Rabu sampai Minggu selama 1,5 jam dengan dua kali pertemuan dalam seminggu. Setiap murid hanya mengikuti program Semut Sumut selama satu tahun (1 batch).

Bergabung menjadi murid Semut Sumut akan melewati beberapa tahapan. Pertama tahap registrasi bagi anak putus sekolah yang disebabkan kondisi finansial dengan rentang usia 16-25 tahun, lalu masuk ke tahap seleksi berkas. Tahap ketiga yakni interview calon murid untuk mengetahui minat dan motivasinya, dilanjutkan ke tahap trial class. Tak hanya memfasilitasi ruang belajar gratis bagi para murid, Semut Sumut akan membantu menyediakan pekerjaan sesuai dengan skill yang dilatih.

“Kami biasakan mereka untuk buat karya, kayak sekarang lagi running project based learning. Mereka dipecah beberapa kelompok. Satu kelompok mewakili setiap bidang dan di-challenge membangun social issue yang mereka olah sendiri, output dan narasi mereka pikir sendiri. Hal-hal itu membiasakan mereka untuk mandiri, tanggung jawab dengan karya sendiri dan itu akan membangun portofolio mereka, yang nantinya memudahkan untuk mendapat pekerjaan,” ucap Yogi.