Dilansir dari CNN Indonesia beberapa waktu lalu Bobby Nasution berencana membangun Kota Medan kembali dengan nilai-nilai historis Parisj Van Soematra. Romantisasi Parisj Van Soematra ini rencananya akan terwujud dalam bentuk revitalisasi bangunan juga bermaksud untuk menciptakan Kota Medan yang beradab, santun, harmonis, dalam kemajemukan demokratis dan cinta tanah air. Yang terakhir ini sangat berbau politis memang. Terlepas dari itu, seberapa penting dan kenapa nilai-nilai historis ini harus dibangkitkan kembali akan coba dijelaskan oleh penulis di tulisan kali ini.
KELAHIRAN ISTILAH PARISJ VAN SOEMATRA
Mungkin sebagian masyarakat Medan tidak dekat dengan istilah Parisj Van Soematra, setidaknya untuk anak muda kelahiran 90an akhir sampai 2000an awal, tapi istilah itu memang benar-benar ada dan punya arti lebih untuk mereka “Ourang Medan” orang-orang yang berwatak keras cenderung “mentiko” yang tinggal di tanah kelahiran tembakau deli.
Dulu jauh sebelum kota ini disibukkan dengan polemik nepotisme dan korupsi yang merajalela, kota ini sempat memiliki semangat yang luar biasa besar untuk menjadi suatu pusat peradaban di semenanjung Malaya.
Semangat yang hadir dari para kaum elit di Sumatera untuk mampu menjaga gengsi. Sangking besarnya semangat itu, mereka orang-orang Belanda dan cukong tembakau ini menyebut kota ini dengan istilah Parisj Van Soematra, setidaknya julukan itu melekat mulai dari pertengahan abad 19 sampai pertengahan abad 20.
Dilansir dari Historia ungkapan Parisj Van Soematra merujuk kepada gaya hidup dan tindak tanduk orang-orang belanda juga para pengusaha perkebunan tembakau Deli di Sumatera yang sering disebut Deliaan atau orang belanda-deli. Saat itu bicara soal Medan maka seperti membicarakan Paris, mereka para deliaan berhasil menciptakan kesan Medan yang keras, ekslusif, dan juga glamor.
OURANG MEDAN YANG BANGGA TINGGAL DI MEDAN
Nasrul Hamdani dalam “Medan Het Parijs van Sumatra” mengatakan bahwa istilah ini muncul karena sentimen yang hadir dalam tubuh Deliaan terhadap birokrasi pemerintah dan juga persaingan klasik Belanda dan Inggris yang membuat Paris lebih dipilih daripada Amsterdam atau London. Para Deliaan ini juga memiliki kebanggaan tersendiri terhadap Kota Medan, kota yang membuat mereka mampu menumpuk harta sehingga pada akhirnya muncul sebuah upaya meromantisasi Paris di kota ini, mulai dari arsitektur sampai hobi-hobi baru ala Parisian.
Nasrul dalam tulisan yang sama juga mengatakan bahwa Medan kala itu memang sarat akan keterbukaan, kebebasan dan kemeriahan. Dengan kata lain, Medan menjadi Paris Bukan karena Medan mirip kota Paris melainkan karena Deliaan merasa kisah tentang Paris menjiwai perasaan, semangat, keberanian serta kerja keras mereka pada kota yang dibangun dengan uang mereka sendiri.