MEDAN, KOVERMAGZ – Seperti yang dijanjikan, artikel ini adalah artikel kedua dalam seri sejarah kota Medan bertajuk: Menolak Lupa Bukti Penjajahan di Tanah Deli.
Kemarin, kita sudah bahas kisah di balik bangunan Hotel de Boer, yang kini telah berganti menjadi Hotel Grand Inna (baca disini).
Begitu banyak gedung bersejarah di kota Medan dan kebanyakan masih beroperasi hingga sekarang. Tidak ada yang tak mengenal Istana Maimun, Menara Tirtanadi, ataupun Gedung Balaikota sebagai heritage-nya kota Medan itu sendiri. Namun selain ketiga gedung tersebut, tahukah Anda bahwa ada sebuah gereja bekas peninggalan kolonial Belanda yang masih terawat dan masih digunakan jemaat gereja hingga saat ini?
Gereja itu adalah Gereja Protestan Indonesia Di Bagian Barat (GPIB) atau sering dipanggil Gereja Immanuel. Tempat ibadah ini adalah gereja tertua di kota Medan yang masih menggunakan dinding, ornamen dan bentuk yang sama. Gereja ini dibangun berdasarkan arsip lembaran kenegaraan Belanda tahun 1912 No.497 Ini adalah gereja protestan pertama di kota Medan yang dibangun pemerintah Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Tepat pada 21 Oktober 1921, pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah gereja. Letaknya berhadapan dengan kantor pemerintahan Hindia Belanda di Tanah Deli (kini Kantor Gubernur Sumatera Utara), dan sampai sekarang gereja yang sudah berumur ratusan tahun ini adalah salah satu saksi biru kemerdekaan Indonesia di kota Medan.
Keberadaan gereja ini dibangun tak terlepas dari masa kejayaan kota Medan. Pada abad ke-19 (1886) terjadinya perpindahan residen (penduduk) Sumatera Timur dari Bengkalis ke Medan. Sejarawan kota Medan, Ratna mengatakan keberadaan gereja peninggalan Belanda ini memiliki berbagai macam fungsi.
“Kita sudah mengetahui, perbandingan penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa penjajahan Belanda, mereka lebih mengutama peningkatan perekonomian, di antaranya pengembangan di sektor perkebunan, walaupun tanda kutip masih menjajah. Dibandingkan dengan Jepang, mereka melakukan suatu tindakan yang di luar nalar manusia yaitu dengan sistem kerja paksa (romusha). Dengan sistem ini, hampir seluruh rakyat Indonesia pada saat itu mati kelaparan.”
Mengingat kedatangan Belanda ke Indonesia pada abad ke-17 tidak hanya membawa semangat dalam pengumpulan kekayaan dan kekuasaan. Tetapi sebagai negara kerajaan yang penganutnya adalah Kristen Protestan, penyebaran agama juga menjadi tujuan Belanda.
“Di masa kekuasaan Jepang, bukan hanya manusianya yang disiksa, gedung peninggalan Belanda juga dialihfungsikan, terutama Gereja Immanuel Medan yang semula menjadi tempat ibadah kemudian dijadikan sebagai gudang penyimpanan senjata milik tentara Jepang,” ungkap Ratna.
Tak ada informasi konkret, kenapa tentara jepang mengalihfungsikan Gereja Immanuel menjadi gudang penyimpanan senjata. Setelah dijadikan sebagai gudang, para jemaat gereja saat itu beralih ke Gereja Gereformeerd (sekarang Gereja Kristen Indonesia/GKI).
Sesudah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan meledaknya bom atom di kota Nagasaki – Hiroshima, tentara Jepang perlahan meninggalkan kota Medan dan warga Medan merebut kembali Gereja Immanuel yang dulunya dijadikan sebagai gudang senjata. Pada tahun 1949, jemaat gereja akhirnya menetapkan penggunaan dua bahasa dalam tata ibadah yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Belanda,
Di bulan september tahun 1959, gereja Indische atau Staatskerk ini secara penuh menjadi milik dari GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat) dengan nama GPIB jemaat “Immanuel“ Medan. Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel medan terletak di jalan Diponegoro No. 25 – 27 yang berada di kelurahan Madras Hulu, kecamatan medan Polonia, Medan, Sumatera Utara dengan pendeta pertama yaitu, Pdt. Souhoka.
Penulis: Frengki Hermanto Marbun Fotografer: Vicky Siregar