Awal Menciptakan Angklung
Meski beliau mengawali kariernya sebagai guru, namun siapa sangka jika nama Daeng Soetigna lebih terkenal sebagai pencipta angklung. Daeng menciptakan angklung diatonis yang memiliki delapan nada dalam setiap oktafnya. Angklung diatonis kemudian diberi nama Angklung Padeang untuk menghormati penciptanya.
Mengutip dari beberapa sumber, awal menciptakan angklung ini terjadi pada tahun 1938. Pada saat itu, Ia kedatangan dua pengamen angklung yang memainkan angklung tradisional Sunda atau bernada pentatonis.
Ketika mendengar musik angklung tersebut, hatinya menjadi bergetar dan tesentuh. Kemudian dengan rasa iba, ia pun membeli angklung pentatonis tersebut. Ia juga mengkhawatirkan akan nasib angklung di kemudian hari yang tak mustahil akan musna karena terpaan jaman yang terus moderen.
Berawal dari itulah, beliau mencoba mempelajari angklung. Dia juga berguru dengan seorang tua bernama Djaja untuk mencari suara dari bambu dan menyetemnya. Dia pun berhasil menyusun not balok dan membuat angklung bertangga nada diatonis. Angklung inilah yang kemudian dia perkenalkan dan populerkan di Kuningan maupun di luar Kuningan. Angklung ini disebut “angklung modern” atau disebut pula menurut nama pembaharunya (Bapak) Daeng dengan “Angklung Padaeng” yang mendunia.
Hingga akhirnya pada 26 April 2013, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin memberikan hak kekayaan intelektual sebagai pencipta angklung kepada Daeng Soetigna. Kepedualiannya dan jasanya yang begitu besar terhadap angklung Indonesia, membuat masyarakatnya mengenangnya hingga sekarang.
Masa Tua Daeng Soetigna
Pada tahun 1964, Daeng Soetigna pensiun sebagai pegawai negari sipil. Kendati begitu, Dia tetap aktif mengembangkan angklung. Dia melatih di berbagai kelompok angklung seperti SD Soka, SD Santo Yusup, dan SD Priangan. Demikian pula perkumpulan ibu-ibu Militer maupun suster di gereja RS Borromeus. Atas jasa-jasanya, pada masa tua inilah ia mulai memperoleh berbagai penghargaan, termasuk SATYA LENCANA KEBUDAYAAN dari Presiden RI.
Setelah pengabdiannya yang panjang dalam mengangkat musik angklung, Daeng Soetigna wafat pada tanggal 8 April 1984 di Cikutra, Bandung.
Penetapan Hari Angklung Sedunia
Berkat penemuan Daeng Soetigna, angklung dapat di padukan dengan alat musik barat bahkan dalam bentuk orkestra sekalipun. Hingga pada akhirnya, pada 16 November 2010, secara resmi UNESCO menetapkan angklung sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia dan sebagai Hari Angklung Sedunia.
UNESCO menilai angklung Indonesia telah memenuhi kriteria-kriteria prasasti Daftar Perwakilan Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan. Sebut saja salah satunya Angklung Indonesia sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan dapat berkontribusi pada kesadaran yang lebih besar akan pentingnya warisan budaya takbenda dan mempromosikan nilai-nilai kerja sama, disiplin, dan saling menghormati yang menjadi intinya.