Menolak Lupa Bukti Penjajahan di Tanah Deli: GEDUNG JUANG ‘45 SUMATERA UTARA

PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI

Pada tanggal 19 Agustus 1945 di atas Kota Medan sebuah pesawat terbang Sekutu berputar-putar dan menyebarkan pamflet di beberapa bagian kota. Isi pamflet tersebut menyatakan perang telah berakhir. Jepang sudah kalah, tidak lama lagi Belanda  yang sedang bersiap-siap di Australia akan datang kembali  untuk memerintah di Indonesia. Surat selebaran itu diakhiri dengan kata-kata : “Hidup Sri Ratu Wilhelmina”.

Keesokan harinya Jepang pun membubarkan Gyugun, Heiho, Kaigun-Heiho dan Tokobetsu, dimana pemuda-pemuda yang berkebangsaan Indonesia setelah dilucuti senjata dan pangkat harus pulang ke kampung halaman masing-masing. Dalam kebingungan, karena secara tiba-tiba satuan-satuan mereka dibubarkan, para pemuda itu sebagian berkeliaran dan bergerombol di kota Medan. Namun kawasan yang menjadi pusat keramaian pemuda tersebut adalah di Jl. Istana No. 17 itu. Akhirnya pada sebuah gedung yang semula merupakan markas bagi pasukan tentara bentukan Jepang, BOMPA, dijadikan sebagai tempat pengurus eks-Gyugun dan Heiho.

 

MARKAS BOMPA HINGGA PPKN

Peran awal gedung ini adalah tempat kediaman BOMPA (Badan Oentoek Membantoe Perang Asia), berada di atas sepetak tanah yang dimiliki oleh masyarakat setempat dan didirikan serta ditempati begitu saja tanpa izin siapapun. Pembangunannya dilakukan oleh sekelompok pasukan tentara Jepang. Bangunannya dibangun dengan bentuk rumah panggung yang memiliki kolong dan bermaterial kayu. Dibentuk pada 28 November 1943 oleh Jepang, BOMPA bertujuan memberikan dukungan bagi keperluan perang Jepang. Prajurit BOMPA inilah yang pada akhirnya melawan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Nama Jl. Istana berganti menjadi Jl. Pemuda ketika berita Proklamasi telah sampai ke telinga para pejuang di Kota Medan. Markas BOMPA pun berganti nama menjadi Gedung Pemuda , dan  tanggal 26 Agustus 1945 atas prakarsa Achmad Tahir dan pemuda lainnya, dibentuklah panitia penampungan mantan Gyu Gun dan Hei Ho yang sudah dibubarkan Jepang. Mereka mengadakan rapat di Gedung Pemuda untuk  mengatur siasat agar Proklamasi Kemerdekaan dapat benar-benar direalisasikan di Sumatera Utara.

“Ada 54 orang yang rapat, masing-masing pemuda seolah-olah sedang makan siang agar tidak ketahuan. Di situlah diputuskan mereka harus menggalak leher untuk mempertahankan kemerdekaan,” tambah Muhammad THW. 

Namun ketika akhirnya pertemuan itu di-banned pihak Jepang dan akhirnya rapat dipindahkan ke Asrama Fuji Dori No. 6. Pertemuan konsultasi tersebut berubah menjadi rapat besar pada tanggal 23 September 1945, yang akhirnya berlanjut menjadi rangkaian gerakan-gerakan politik untuk mengisi kemerdekaan RI di Sumatera Utara.

Dibawah pimpinan Achmad Tahir ex Opsir Gyu Gun didampingi tokoh lainnya seperti Abd. Karim Ms, ex Boven Digul, Sugondo Karto Projo dari Taman Siswa, Saleh Umar dari Gerindo, Natar Zainuddin dari kaum komunis, dan tokoh-tokoh lainnya, dibentuklah organisasi pemuda untuk menyambut gerakan kemerdekaan bernama BPKI (Badan Kebaktian Pemuda Indonesia) berganti menjadi BPI (Barisan Pemuda Indonesia) hingga berubah menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan bermarkas di Gedung Pemuda ini.