98 Persen Orang Indonesia Kesepian Selama Pandemi

Selama pandemi ini sebagian besar orang dihadapkan pada situasi yang cukup sulit. Selain menyerang ekonomi dan kesehatan fisik, pandemi ini juga berdampak pada kesehatan mental masyarakat. Faktanya, mayoritas masyarakat Indonesia ternyata mengalami kesepian setidaknya dalam sebulan terakhir. Sebuah penelitian yang bertepatan dengan Bulan Kesehatan Mental membuktikan hal tersebut.

Into the light dan Change.org melakukan survei terkait kesehatan mental masyarakat Indonesia pada kurun waktu bulan Mei hingga Juni lalu. Hasil survey menunjukan hampir semua partisipannya yang terdiri dari 5.211 orang dari enam provinsi di pulau jawa merasa kesepian. 

Hasilnya cukup mengejutkan: selama periode survei dilakukan 98 persen partisipan merasa kesepian dalam satu bulan terakhir, dua dari lima partisipan bahkan merasa lebih baik mati dan melukai diri sendiri dalam dua minggu terakhir.

Into The Light sendiri adalah sebuah komunitas yang punya misi utama untuk mencegah bunuh diri remaja di Indonesia. Survei dilakukan karena di Indonesia dianggap belum ada hasil evaluasi yang cukup komprehensif atas informasi dan layanan kesehatan mental, maupun literasi kesehatan mental yang dimiliki.

 

Mayoritas Orang Indonesia Memiliki Stigma Salah Terhadap Depresi dan Bunuh Diri

Peneliti Pascadoktoral dari University of Macau sekaligus mitra Into The Light, Andrian Liem mengatakan bahwa stigma dan pandangan negatif terhadap bunuh diri masih sangat kuat.  Hal ini terlihat dari banyaknya partisipan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang fakta dan mitos bunuh diri dengan salah. 

“Misalnya saja partisipan menganggap bahwa menanyakan keinginan bunuh diri kepada seseorang akan memicu keinginan bunuh diri sebagai fakta. Padahal ini adalah mitos, justru menanyakan hal tersebut dapat membantu mencegah keinginan orang untuk bunuh diri,” ujar Andrian Liem seperti yang dikutip Kover Magazine.

 

Dengan kata lain, pengetahuan masyarakat tentang fakta dan penyebab bunuh diri masih amat minim. Menurut survei tersebut:

  • 86 persen peserta berpikir orang yang berpikir bunuh diri akan selalu terpikir dan berusaha bunuh diri
  • 66 persen peserta menganggap pembicaraan tentang bunuh diri akan meningkatkan risiko bunuh diri

Hasil survei menunjukan hampir 70 persen dari total partisipan mengaku tidak pernah mengakses layanan kesehatan mental karena alasan biaya yang tidak bisa dijangkau.

Selain itu, pikiran kesepian, bunuh diri, dan self-harm dirasakan lebih dari setengah peserta survei dari kelompok minoritas seksual (non-heteroseksual; 57 persen) dan gender (interseks, transgender, dan lainnya; 56 persen). 

Jadi, apa yang dilakukan saat kesepian, pikiran bunuh diri dan self-harm datang? Sekitar 69 persen berlari ke agama (baca kitab suci atau berdoa), sementara 64 persen curhat dengan keluarga. Nyatanya, tenaga kesehatan jiwa profesional adalah yang paling ampuh karena memiliki keahlian dan pasti menjaga rahasia pasiennya.

Lebih banyak partisipan survei meyakini anggota keluarga dan teman dekat berjenis kelamin sama sebagai sosok yang lebih membantu dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dibandingkan dengan tenaga kesehatan jiwa profesional.

“Keyakinan ini menunjukkan partisipan membutuhkan dukungan sosial. Tetapi perlu diingat bahwa tenaga kesehatan jiwa profesional lebih memiliki keahlian dalam menangani kesehatan mental dan dapat menjaga rahasia klien yang berkonsultasi,” jelas Andrian menanggapi hasil survei tersebut.

Biaya Konsultasi Kesehatan Jiwa Gratis Bagi Pemilik Kartu BPJS

Walau biaya konsultasi untuk kesehatan jiwa bagi pemilik kartu BPJS dapat ditanggung dengan gratis, hasil survey mengungkap 7 dari 10 partisipan tidak tahu tentang informasi ini. Hasil temuan lain adalah hampir 70 persen partisipan yang pernah mengakses layanan kesehatan mental berkonsultasi secara daring (online).

Walau tidak banyak yang mengakses layanan kesehatan jiwa, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, Psikiatri yang aktif melayani pasien di Siloam Hospitals Bogor mengaku beberapa rumah sakit justru kewalahan untuk melayani pasien.

Menurutnya, jumlah psikolog dan psikiater perlu terus ditambah untuk memenuhi kebutuhan di sini. “Selain itu pemerataan kualitas juga diperlukan, karena bisa saja kualitas layanan berkurang karena beban pekerjaan yang terlalu besar. Perlu ada sistem yang menjaga di sini,” kata dr. Jiemi.

Jiemi menambahkan, jumlah kunjungan poliklinik kesehatan jiwa juga meningkat semasa pandemi, namun sebagian besar dari mereka sudah memiliki keluhan berat. “Hal ini karena permasalahan kesehatan jiwa masih dianggap tidak seserius permasalahan kesehatan fisik, sehingga cenderung diabaikan,” kata dr. Jiemi.

Menurut dr. Jiemi, layanan kesehatan jiwa juga mungkin akan menyentuh akar rumput lebih baik jika pemerintah dan instansi terkait bisa bekerjasama dengan komunitas-komunitas terdekat agar target audiens lebih tepat. Dengan demikian mungkin bisa memperkecil hambatan untuk mendapat layanan kesehatan jiwa.

Ia menambahkan, di masa sulit seperti ini, merasa kehilangan, kesepian, tidak baik-baik saja adalah hal yang wajar dan tidak perlu disembunyikan. Jika merasa tidak baik-baik saja, lebih baik mengakses layanan kesehatan jiwa lewat aplikasi daring atau BPJS Kesehatan di pelayanan kesehatan di sekitarmu.

Source: Kompas.com, IDN Times, DetikHealth
Baca Juga:  5 Fakta Menarik Tentang Berpelukan, Bisa Redakan Stres!