Beralamat di Jalan Istana (sekarang Jalan Pemuda) No. 17 Medan, gedung ini pada awalnya dinamakan Gedung Pemuda. Gedung ini bangunannya tak pernah berubah sejak awal diresmikannya pada tahun 1975. Sayang sekali, gedung yang berdiri tidak jauh dari kantor Harian Waspada ini sering kali lolos dari perhatian masyarakat maupun pemerintah. Bahkan, masyarakat Sumut sendiri mungkin tidak memahami nilai sejarah yang terdapat pada gedung tersebut dan fungsi sebenarnya dari didirikannya gedung tersebut, padahal, justru untuk itulah gedung ini dipertahankan pemuda-pemuda Sumatera dahulu: agar generasi berikutnya dapat memahami perjuangan pemuda terdahulu dalam mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Utara, khususnya sejarah kebangsaan di Kota Medan sejak zaman pendudukan Jepang di Sumatera Timur tahun 1943.
Adapun fungsi gedung ini berbeda-beda dalam setiap periode. Dalam periode 1943-1945, masa penjajahan Jepang hingga era memperjuangkan kemerdekaan Sumatera Utara, gedung ini berfungsi sebagai markas BOMPA dan markas Pemuda. Selanjutnya periode 1945-1949, masa mempertahankan kemerdekaan, gedung ini difungsikan sebagai markas BPI serta pusat mobilisasi TKR. Terakhir, periode 1975 hingga seterusnya, gedung ini diresmikan dan berfungsi sebagai kantor DHD-45 Sumut dan Museum Juang.
MASUKNYA JEPANG KE SUMATERA
Menurut Muhammad THW dalam bukunya “Sebelum dan Sesudah Proklamasi” (2005), pada tanggal 6 Maret 1942 tentara Jepang dengan menaiki kapal “Ginyo Maru” berangkat dari dermaga barat Shonanto (Singapura) meninggalkan Singapura yang telah mereka rebut dengan korban yang begitu besar untuk selanjutnya menuju ke Sumatera, target selanjutnya.
Bukannya baku-tembak yang dihadapi dalam maksud untuk menguasai Medan, sesampainya di Dermaga Tanjung Tiram, sebuah tangkahan di sebelah Barat Laut Labuhan Ruku, pasukan Jepang malah disambut hangat oleh masyarakat setempat. Berpikir bahwa pasukan ini adalah saudara dan kawan dari Timur.
Tak terduga, ternyata tindakan Jepang lebih kejam dan lebih bersifat lebih sewenang-wenang dari pendahulunya. Ketika bentuk tetap dari pemerintahan militer Jepang telah tersusun pada bulan September 1942, terdapat 244 orang Jepang ditempatkan sebagai pejabat pemerintahan di Sumatera dan mereka disebarkan pada kedudukan-kedudukan atas.
Di seluruh wilayah yang telah diduduki, orang Jepang yang paling senior dengan pengalaman perang yang mumpuni, cenderung dijadikan walikota-walikota. Misalnya Hayasaki, telah diangkat menjadi Walikota Medan pada pertengahan tahun 1942. Jepang memperkuat basis pertahanannya terhadap Sekutu di daerah Aceh. Memang saat itu terkesan kuat bahwa orang Aceh adalah yang paling kuat rasa bangga dirinya dan yang paling tidak mempunyai rasa gentar di antara penduduk Sumatera.
Orang Batak Karo di Sumatera Timur semangat agresifnya juga dimanfaatkan oleh Jepang untuk membentuk suatu barisan pertahanan. Namun Aceh tetaplah yang dianggap Jepang sebagai daerah utama merekrut tenaga baru untuk dijadikan seorang militer atau semi militer