Penulis: Indriyana Octavia
Fotografer: Michael Xing
Kedai Kopi Apek adalah tempat yang melegenda. Dirintis sejak 1919 saat kopi masih sulit ditemukan dan hanya jadi konsumsi para kolonial penjajah. Sempat disebut ‘racun’ agar para pribumi tidak mengonsumsi minuman tersebut, bahkan bisa dikatakan kopi termasuk barang mahal kala itu.
Terletak di Jalan Hindu, pas di seberang Pasar Hindu, Kedai Kopi Apek tidak memiliki plang nama namun sejumlah kendaraan parkir berjejer mengelilingi tempat ngopi legendaris ini. Gedung tua yang bercat putih dan hijau muda tampak semakin memudar. Arsitektur khas zaman dahulu jelas terlihat walau hanya sekilas lewat. Didukung bangunan bersejarah lainnya yang memadati kawasan ini membuat Kedai Kopi Apek salah satu destinasi kuliner yang layak dikunjungi jika bertandang ke Kota Medan.
Menginjakkan kaki di pelataran kedai kopi ini serasa menghirup sisa-sisa kehidupan masa lampau. Begitu melangkah masuk, kepala dipenuhi teka-teki bagaimana orang dulu minum kopi di sini. Perabotan kuno masih bertebaran di segala penjuru kedai kopi ini. Seluruh meja, kursi, lemari, jam dinding, dan ornamen lainnya kebanyakan masih dipertahankan sejak dahulu kala.
Kedai Kopi Apek menyimpan sejarah perjuangan kakek Suyenti, generasi pertama pendiri tempat ngopi ini. Sang kakek tergerak membuka kedai kopi karena sulitnya menemukan tempat sekaligus tempat bercengkrama bersama sahabat-sahabatnya pada saat itu .
Sepeninggalan sang kakek, kedai kopi ini diwariskan ke Thiang Tjo Lie, ayah Suyenti yang merupakan generasi kedua pengelola kedai kopi yang awalnya tak punya nama ini. “Dari dulu memang enggak punya nama. Ya, orang tua kan sudah tua, kadang suka nanya mau ngumpul mana sama kawan-kawan, mereka jawabnya tempat Apek aja, otomatis namanya jadi Kedai Kopi Apek,” ungkap Suyenti. Apek dalam bahasa Cina merupakan sebutan untuk orang tua.
Kedai Kopi Apek bukan sebatas tempat minum kopi, namun juga tempat berinteraksi. Tidak ada wifi, soket listrik, pendingin ruangan, atau live music. Semua pengunjung larut dalam bincang. Walaupun hanya tersedia delapan meja tetapi peminat kopi di sini hampir tak pernah surut. Jika tak ada meja kosong, tamu bisa saling berbagi meja. Dari sana akan muncul kenalan-kenalan baru yang membuat suasana kedai kopi terasa hangat dan bernyawa.