Bila kebanyakan orang mengabadikan momen dengan fotografi, Charles Pandiangan memilh jalur unik, melalui sketsa. Ketika masyarakat luas telah mengenal kamera digital dengan baik, Charles terus meningkatkan kemampuannya pada bidang seni lukis ini. Bagi Charles mensketsa adalah kegemaran yang memberi candu, tak sehari pun ia lewatkan tanpa menciptakan sketsa. Ternyata mensketsa sudah ia tekuni sejak kecil.
“Mulanya dari SD sudah kayak hobi, kemudian kuliah arsitektur, kerja bikin kartu handmade buat anak muda yang mau kasi hadiah spesial ke pacarnya, nah dari situ banyak peminatnya, tapi untuk pola gambar masih niru dari foto dan karya orang lain, lama-kelamaan dapat ide, langsung lihat objeknya langsung gambar,” ungkap pria kelahiran Siantar, 13 Januari 1973 ini.
Charles hanya perlu sekitar 15 menit untuk membuat sebuah sketsa terutama pada situasi live seperti dalam sebuah event atau objek yang bergerak. Untuk mensketsa bangunan biasanya ia merampungkannya dalam waktu 30 menit dan paling lama sejam. Beragam landmark kota Medan sudah pernah ia taklukkan seperti Tjong A Fie, Gedung Lonsum, Masjid Raya Medan, Kantor Pos Pusat, Menara Air Tirtanadi, hingga Tip Top Restaurant.
Ibarat seorang fotografer namun tanpa kamera, para ilustrator merekam suasana dengan alat tulis dan kertas. Hasil sketsa bisa berwarna mau pun monokrom. Hitam putih jika hanya menggunakan pulpen atau pensil, berwarna jika memakai cat air. Tak jarang sketsa dilengkapi sedikit narasi agar lebih bercerita.
Kerap Gelar Pameran
Pria yang tergabung dalam komunitas Urban Sketchers Medan ini juga kerap mengikuti pameran, salah satunya Pameran Galeri Nasional di Jakarta.
“Dipilih secara online serentak di seluruh Indonesia, tanggal 17 diberi waktu dari jam 8 pagi sampai jam 1 siang untuk mensketsa, upload ke instagram, dikumpulin dan disortir siapa yang layak dikirim ke Jakarta dan dipamerkan, hasilnya ada 400 orang yang karyanya dipamerkan,” ujar Charles.
Desember ini Charles dan komunitasnya baru saja menggelar Pameran Sketsa Jalan-Jalan dan Kulineran di Sun Plaza, dan akan diselenggarakan lagi pada tahun 2019 mendatang. Ia juga sering melakukan kunjungan ke luar kota seperti Binjai, bahkan Penang dan Korea juga pernah ia sambangi.
“Pas sketsa di Korea dilihat orang sana terus diajak ke gereja. Mereka bilang mereka sedang ada pertunjukan dan mereka pengin digambar, akhirnya setelah kami sketsa, kami ditawari kimchi, dapat koneksi sketcher Korea juga,” tutur Charles bercerita.
Mahir dalam menciptakan sketsa tidak serta merta diperoleh dalam waktu singkat. Butuh skill berupa kemauan, keberanian, rutin latihan dan percaya diri karena tak jarang ketika mensketsa suatu momen atau suatu objek di suatu tempat menimbulkan rasa penasaran orang sekitar sehingga banyak yang mengerumuni.
Menjadi seorang ilustrator memberi kesan tersendiri untuk Charles. “Senangnya jadi punya banyak kenalan, kalau lagi sketsa kadang ada yang nanya ‘itu lagi apa bang’ akhirnya jadi teman. Pernah juga mensketsa rumah makan, pas aku tunjukkan ke yang punya ternyata dia senang akhirnya jadi ngobrol, kadang malah dikasi makan gratis. Momen enggak enaknya diusir satpam dianggap mengganggu dan mencurigai, karena kan kalau mensketsa harus sering menatap objeknya,” tutur Charles.
“Senangnya jadi punya banyak kenalan, kalau lagi sketsa kadang ada yang nanya ‘itu lagi apa bang’ akhirnya jadi teman. Pernah juga mensketsa rumah makan, pas aku tunjukkan ke yang punya ternyata dia senang akhirnya jadi ngobrol, kadang malah dikasi makan gratis. Momen enggak enaknya diusir satpam dianggap mengganggu dan mencurigai, karena kan kalau mensketsa harus sering menatap objeknya,” tutur Charles.
Selain disimpan sebagai koleksi pribadi, beberapa karya Charles juga dijadikan souvenir pada event yang digelar bersama komunitasnya. Ada pula yang dijual berdasarkan orderan pembeli. Rentang harga yang ditawarkan juga beragam mulai dari 150 ribuan untuk ukuran A3. Semakin besar ukuran kertas yang diminta maka harga juga semakin mahal.
“Pernah juga pameran di sekolah-sekolah, aku jual murah aja, sesuai dengan kantong anak sekolah. Kalau di mall ada turis yang beli dengan harga 1,5 juta karena dia tertarik dan untuk dijadikan kenang-kenangan di kota asalnya. Kebetulan itu sketsa live jadi ada ceritanya dan turis itu suka,” papar Charles menjelaskan.
Lestarikan Bangunan Bersejarah
Alumni Universitas Katolik Santo Thomas (Unika) Medan ini berencana untuk membuat buku cerita berisi sketsa kota Medan baik dari segi bangunan, makanan khas, dan berbagai kegiatan yang disertai tulisan agar menarik. Dalam waktu dekat Charles juga berencana pergi ke Berastagi untuk mensketsa sebuah bangunan yang akan digusur.
Melalui sketsa, sebenarnya para sketcher atau ilustrator secara langsung memperkenalkan objek yang disketsa. Apalagi jika objek tersebut sudah menjadi puing-puing reruntuhan. Hal ini menambah nilai pada sebuah sketsa. Tentu saja sketsa layak dijadikan hadiah terutama untuk teman yang berada di luar negeri, hal ini bisa menarik minat wisatawan mancanegara untuk mengunjungi objek yang digambar pada sketsa.
“Sketsa ini seni bercerita yang enggak ada batasannya, gambarku dengan gambar dia pasti beda, aku enggak bisa niru dia, dia enggak bisa niru aku. Apa yang pertama digambar, tekniknya bagaimana, ada ciri khas masing-masing. Saling berbagi ilmu juga, enggak ada siapa menang siapa paling bagus,” ujar pria yang kini berprofesi sebagai pegawai swasta di bidang interior ini mengakhiri.
Penulis: Indriyana Octavia
Fotografer: M. Fitra Afriansyah