Pandemi melakukan banyak hal untuk mengacaukan hidup kita. Ia memberikan rasa sakit dan penderitaan COVID-19 yang melukai bahkan membunuh keluarga dan teman, melumpuhkan ekonomi kita, mempengaruhi kesehatan mental kita. Bagi kita yang menerima dampak lebih ringan, kita harus menyesuaikan diri dengan kehidupan kerja baru di mana kantor kita adalah rumah kita. Para ahli, pemilik bisnis, dan orang biasa masih mencoba menavigasi apa yang membuat pekerjaannya terasa seperti benar-benar kerja.
Cara perusahaan mendekati bisnis sekarang dibandingkan dengan satu setengah tahun yang lalu telah berubah secara drastis. Forum Ekonomi Dunia mencatat pada pertengahan 2020, 93% tenaga kerja dunia tinggal dan bekerja secara remote sebagai bentuk tindakan untuk mencegah penyebaran virus corona.
Penerapan working from home (WFH) di Indonesia sendiri sudah sempat dijadikan wacana pada akhir 2019. Saat itu mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Syafruddin, menyatakan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) di masa depan bisa bekerja dari rumah dengan didukung oleh perkembangan informasi yang semakin maju sehingga akan berdampak positif bagi fleksibilitas kerja ASN.
Para ahli berpendapat bahwa pekerjaan kerah putih belum pernah melihat transformasi besar-besaran dalam waktu sesingkat itu. Sekarang, banyak yang bertanya, bagaimana kita bisa kembali seperti dulu?
HAMBATAN BEKERJA DARI RUMAH (WFH) DI INDONESIA
Ketika kasus Covid-19 pertama kali ditemukan di Indonesia, pertambahan kasus positif Covid-19 terus mengalami peningkatan yang signifikan. Sebagai respons atas hal tersebut, Presiden Joko Widodo mengimbau masyarakat Indonesia khususnya ASN dan perusahaan-perusahaan swasta untuk memberlakukan kebijakan bekerja dari rumah (WFH) bagi pegawainya.
Selanjutnya, kebijakan WFH juga telah ditindaklanjuti oleh Menteri PAN-RB melalui Surat Edaran Nomor 19 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan Covid-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah. Surat Edaran tersebut kemudian dijadikan pedoman bagi ASN untuk bekerja secara WFH dalam melaksanakan tugas kedinasan.
Dalam proses implementasi kebijakan WFH bagi para ASN di Indonesia ditemukan sejumlah hambatan, diantaranya terkait pelaksanaan kerja para ASN, seperti pengawasan kerja dan pengaturan kerja.
Dalam aspek pengawasan, WFH bagi para ASN dinilai akan membuat ASN menjadi malas bekerja karena merasa tidak diawasi jika bekerja dari rumah. Pengawasan kinerja ASN yang dilakukan secara jarak jauh selama masa WFH juga dapat menimbulkan permasalahan baru karena tidak semua unsur ASN mampu melaksanakan pengawasan kinerja secara jarak jauh.
Selain itu, tidak semua pekerjaan bisa dilakukan dari rumah. Sebagai contoh, pekerjaan terkait layanan publik yang harus dilakukan dengan bertatap muka dengan masyarakat, maka harus tetap dilakukan di kantor atau instansi terkait. Selanjutnya, kebijakan pelaksanaan WFH bagi ASN akan berdampak pada perubahan pengaturan kerja. Kebijakan WFH juga akan mengubah deskripsi pekerjaan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan, kelangsungan, dan kelancaran WFH bagi ASN.
Hal tersebut didukung dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, tercatat indeks pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Indonesia belum mumpuni karena indikator penggunaan internet di Indonesia baru mencapai angka 4,44 dari skala 1-10.
Berdasarkan hal tersebut, kebijakan WFH dinilai berpotensi pada penurunan kinerja pegawai, karena pegawai tidak dapat saling mempengaruhi dan saling bertukar keterampilan satu sama lain. Manajer dan atasan juga mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan dan memantau kinerja para pegawainya ketika melakukan pekerjaan dari rumah.
Lebih lanjut, bekerja dari rumah akan menimbulkan kekhawatiran pegawai akan kehilangan peluang untuk promosi, penghargaan, serta ulasan kerja positif dari atasan yang tentunya akan berdampak pada penurunan kinerjanya.
MENGAPA SEBAGIAN ORANG SENANG BEKERJA DARI RUMAH?
2019 silam, sutradara legendaris Steven Spielberg menyerukan larangan kelayakan Oscar untuk streaming film, mengklaim bahwa “bioskop harus ada selamanya” dan bahwa penonton harus diberikan “pengalaman teater film” agar film menjadi film. Kemarahan Spielberg bukan hanya tentang ancaman yang ditimbulkan streaming terhadap pengalaman menonton langsung, tetapi juga cara raksasa streaming Netflix melaporkan pendapatan dan anggaran teater, meskipun ini bukan cara seseorang mengevaluasi apakah sebuah film bagus atau tidak. Netflix memegang teguh, mengatakan bahwa itu berarti semua orang, di mana saja [menikmati] film pada saat yang sama dan untuk memberi pembuat film lebih banyak cara untuk berbagi seni dan karya mereka.
Pada akhirnya, Spielberg menolak keras. Tapi bulan lalu, keluhan Steven Spielberg itu ternyata hanya sesuatu yang belum ia pikirkan secara matang mungkin. Karena, perusahaannya bahkan menandatangani kesepakatan dengan Netflix, kemungkinan karena dia sekarang melihat tulisan di dinding: Penonton modern menikmati menonton film di rumah.
Dalam beberapa hal, pertarungan ini menyerupai debat kerja jarak jauh saat ini di industri seperti teknologi dan keuangan. Banyak yang mengeluh bahwa bekerja secara daring tidak efektif. Dan banyak juga yang menyalahkan Covid-19 sebagai salah satu hal yang menyebabkan beberapa bisnis dan bos sebuah perusahaan mendapatkan profit atau brand yang ia bangun menjadi anjlok. Tapi kok nyalahin Covid-19 terus sih? Kenapa nggak adaptif aja?
Setiap pemimpin bisnis harus bertanya pada diri sendiri beberapa pertanyaan sebelum menuntut agar karyawan mereka kembali ke kantor:
- Sebelum Maret 2020, berapa hari dalam seminggu Anda secara pribadi berada di kantor?
- Berapa banyak tim yang Anda hadapi secara langsung? Dengan tim apa Anda paling sering menghabiskan waktu?
- Apakah Anda memiliki kantor? Jika tidak, mengapa tidak?
- Apa itu budaya kantor? Apa budaya spesifik kantor Anda ?
- Apakah bisnis Anda benar-benar menderita karena kerja jarak jauh? Jika demikian, bagaimana ? Jelaskan penderitaan tersebut secara spesifik.
Pekerjaan jarak jauh memperlihatkan banyak inefisiensi dan masalah brutal yang tidak ingin ditangani oleh para eksekutif karena hal itu berdampak buruk pada para ‘gaya memimpinnya’ dan akan terekspos kepada orang-orang yang mereka pekerjakan.
Work from home atau bekerja secara remote juga berhasil memperlihatkan mana sebenarnya pekerja yang paling produktif dan akan membungkam seorang pekerja yang notabene hanya bisa ‘berdiplomasi’ atau mungkin orang-orang yang berhasil hanya dengan cara menyalahkan seseorang atas kesalahan mereka sendiri.
Work from home ini juga pada akhirnya akan mengekspos pekerja mana yang sebenarnya hanya duduk diam nyalain komputer dan terlihat sok stress padahal notabene dia hanya membuka sosmed dan main Spider Solitaire. Dan mungkin juga, secara krusial, membuktikan bahwa atasan anda atau bos anda sama sekali tidak berkontribusi dalam mengerjakan target kantor.
Tetapi bagi puluhan juta dari kita yang menghabiskan sebagian besar hari-hari kita duduk di depan komputer, pandemi membuktikan bahwa kerja jarak jauh bukanlah sebuah hambatan. Sama aja kok sebenarnya. Orang-orang yang selama ini terbiasa dengan tidak melakukan pekerjaan fisik atau yang meletihkan, terpaksa bekerja secara efisien dengan remote. Mereka mungkin diharuskan untuk menyimpan dan mengirim sesuatunya dengan hal berbasis cloud. Dan hal-hal berbasis mobile seperti ini pun sebenarnya akan menjadi ‘the future of office works’ di masa yang akan datang. Jadi kenapa harus ngeluh juga ya nggak?
Sebuah studi yang dibuat oleh Mercer melaporkan, 94% bekerja jarak jauh lebih baik daripada bekerja di kantor. Hal itu mungkin disebabkan karena kekurangan gangguan, distraksi, atau mungkin soft-abuse yang datang dengan rekan kerja atau manajer anda. Pekerja mengaku mampu bekerja dengan lebih fokus dan tanpa harus melewati beberapa tahapan di dalam kantor atau dimana budaya kantor yang aneh.
LALU SIAPA YANG PALING DIUNTUNGKAN DALAM WORK FROM HOME?
Mungkin untuk beberapa orang di Indonesia, kantor memanglah sebuah tempat untuk bekerja. Mungkin di rumah, untuk orang yang berumah tangga mungkin, banyak distraction seperti anak kecil yang kadang tidak mengerti bahwa ibunya sedang bekerja, atau mungkin yah bayangin aja ada tukang kosntruksi lagi kerja di dekat rumah. Apa iya lebih fokus?
Tapi yah, too many probability juga sebenarnya. Untuk mengetahui apakah work from home ini efektif bagi kita atau tidak, adaptif dan ngeh harus mau ngapain sebenarnya salah satu solusi paling natural yang bisa hadir dari dalam diri kita mungkin. Mungkin bagi ekstrovert, kantor bisa menjadi tempat yang ideal untuk menyelesaikan sesuatu dengan jumlah interupsi spontan yang tepat. Tetapi untuk tipe yang lebih tertutup, kantor bisa menjadi rawa kedekatan yang dipaksakan, kebisingan yang tidak diinginkan, dan ancaman obrolan ringan yang tidak diinginkan dengan satu kolega yang benar-benar Anda rasa paling malesin banget lah. Untuk kaum introvert, WFH menurunkan kecemasan mereka akan dunia kerja atau budaya di kantor.
Mungkin ada yang nyaman dengan sistem WFH mengatakan bahwa dia sangat lega bekerja dari rumah, karena dia dapat mengurus anak-anaknya dan bekerja dengan nyaman di rumahnya, terutama tempat tidurnya. Di sisi lain, ada yang memilih untuk ingin segera kembali ke kantor mengungkapkan bahwa kebisingan dan kekacauan yang biasa terjadi di rumah membuat sangat sulit berkonsentrasi dengan pekerjaan.
Pertimbangan dari kedua hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem kerja WFH mungkin akan tetap ada. Dengan kemajuan teknologi, sangat kecil kemungkinan produktivitas para pekerja WFH menjadi menurun. Namun, ada juga kemungkinan model kerja hybrid di masa mendatang yang menunjukkan rutinitas kerja yang fleksibel di mana karyawan dapat membagikan hari kerja mereka di kantor dan rumah. Langkah ini juga sejalan dengan implikasi pandemi Covid-19 yang berfokus pada pembatasan sosial sebagai norma baru di masyarakat.
Kantor tidak hanya menguntungkan ekstrovert; mereka juga memberi penghargaan kepada siapa pun dengan bakat untuk berbicara dengan orang secara langsung. Di kantor, pekerja dapat membuktikan nilai mereka dengan bercanda dengan bos mereka, atau memberikan presentasi yang menarik di ruang konferensi yang ramai di hadapan para manajer.
Keuntungan pekerjaan ini agak (jika tidak seluruhnya) mencair secara online, di mana keterampilan lain dihargai; seperti menanggapi email dengan cepat, menjadi penulis yang jelas dan cepat, memahami cara berbagi presentasi di Zoom, atau minimal sekedar fast-response aja sih. Ini semua adalah “ruang” di mana bos dapat mengevaluasi kinerja pekerja. Ini adalah fakta keragaman manusia bahwa orang yang berbeda berkembang di ruang yang berbeda, jadi kita harus berharap bahwa ruang virtual dari pekerjaan jarak jauh akan menghargai keterampilan tertentu yang kurang dihargai di lingkungan kantor.
BAGAIMANA KELANGSUNGAN TREN WFH DI INDONESIA?
Hasil survei yang dilakukan perusahaan teknologi Microsoft Corp secara global (termasuk di Indonesia), menemukan hasil bahwa sebanyak 83 persen pekerja di Tanah Air menginginkan adanya opsi kerja Work From Home (WFH), lebih tinggi dari rata-rata global di 73 persen.
Hal tersebut terungkap dari hasil survei Work Trend Index 2021 yang bertajuk “The Next Great Disruption Is Hybrid Work — Are We Ready?” Survei tersebut memaparkan, kerja hibrida adalah model kerja campuran di mana sejumlah karyawan kembali ke tempat kerja dan yang lainnya tetap bekerja dari rumah atau WFH.
Hasil survei tersebut mengungkapkan pula bahwa 72 persen pemimpin bisnis di Indonesia juga berencana mendesain ulang kantor untuk mendukung model kerja hibrida; lebih tinggi dari angka global yang berada di kisaran 66 persen. Selain itu, ujar dia, di Indonesia, sekitar 63 persen pekerja mengatakan adanya kemungkinan mereka pindah ke tempat baru dalam tahun depan (jauh lebih tinggi dari angka global yang berada di 46 persen).
Ia menuturkan, tren kerja jarak jauh selama setahun terakhir sesungguhnya telah menciptakan peluang kerja baru bagi sebagian orang, menawarkan lebih banyak waktu keluarga, dan memberikan keleluasaan untuk mengurangi waktu tempuh di jalan.
Namun, lanjutnya, ada sejumlah tantangan baru yang perlu diantisipasi seperti adanya ancaman kelelahan digital serta di Indonesia, 40 persen pekerja mengalami penurunan interaksi dengan rekan kerja (yang dapat membahayakan inovasi), 61 persen pekerja merasa terlalu banyak bekerja, dan 68 persen pekerja dari Generasi Z mengatakan bahwa mereka merasa kesulitan untuk bertahan.
Microsoft telah mengidentifikasi beberapa strategi bagi para pemimpin bisnis untuk mulai melakukan perubahan, yaitu perlunya perencanaan untuk memberdayakan orang dengan fleksibilitas tinggi, mengatasi kelelahan digital, menata ulang ruang dan teknologi guna menjembatani dunia fisik dan digital, serta membangun kembali aspek sosial dan budaya.
Sumber: Lokadata, CNBC, The Atlantic