MEDAN – Tahun 2020 menjadi periode gulung tikarnya sejumlah hotel, travel agencies, dan maskapai, terutama low cost airline. Sektor turunan dari wisata seperti akomodasi, transportasi, dan hospitality, advertising, event organizers, culinary juga akan menghadapi ancaman gulung tikar apabila situasi tidak membaik di paruh pertama 2021.
Secara global, paling tidak pertengahan 2021 barulah sebagian besar populasi dunia divaksinasi, cukup untuk setidaknya memutus rantai dan memperlambat penularan. Dan sekalipun banyak pihak berharap pada kekebalan yang dihasilkan dari vaksinasi, imunitas itu hanya mengacu pada beberapa bulan dari uji coba klinis tahap III. Kita tidak tahu bagaimana efek kekebalan dari vaksinasi selama durasi paling tidak 1 tahun. Di Indonesia sendiri banyak tantangan sebelum program vaksinasi ini diluncurkan. Hoax yang beredar di sosial media mengenai vaksinasi, ataupun gerakan-gerakan yang menentang vaksinasi, sampai ke campur tangan politik, sangat bisa kita bayangkan akan mengganggu kelancaran program ini, yang tentu saja akan memperlambat normalisasi kehidupan.
Sektor wisata, khususnya, akan mengalami perjalanan yang panjang untuk bisa ke titik normal ini, diperikirakan sampai ke tahun 2022 bahkan 2023.
Selama periode Natal dan Tahun Baru, pemerintah telah melakukan sejumlah pengetatan perjalanan, di antaranya dengan mewajibkan rapid test antigen dan swab PCR ke sejumlah kota tujuan. Ke depan ini, testing seperti ini menjadi new normal, bahkan kartu vaksin akan menjadi “new passport” untuk bepergian ke luar negeri. Diperkirakan sebagian besar bandara akan memiliki pusat uji antigen dan PCR untuk mengakomodir kebutuhan kedua belah pihak: penumpang dan maskapai penerbangan. Banyak destinasi wisata yang mungkin juga akan mewajibkan wisatawan melampirkan tes swab PCR negatif.
Pada saat ini, wisatawan cenderung memilih tempat-tempat wisata yang berada dekat dengan alam atau ruang terbuka. Karena selain bisa meminimalisir terpapar virus corona, alam jadi pilihan setelah sekian lama mereka melakukan karantina mandiri di rumah. Para travel agency sepatutnya menyesuaikan paket-paket perjalanan dengan grup yang jauh lebih kecil, ke lokasi-lokasi yang lebih dekat, dengan alam, outdoor activities yang jauh dari kerumunan orang, dan menu makanan sehat.
Belakangan ini, istilah travel bubble menjadi tren. Travel bubble adalah ketika negara-negara yang dianggap aman atau berhasil menangani pandemi Covid-19 sepakat untuk membuka border dan menciptakan sebuah gelembung atau koridor perjalanan,
misalnya: Singapura dengan Hongkong, Taiwan dengan Vietnam, Jepang dengan Malaysia, dan sebagainya. Indonesia sendiri sepertinya masih belum mampu memiliki bubble travel ini setidaknya sampai pertengahan tahun 2021 walau sudah beberapa kali ada wacana ke empat negara, yakni Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, dan Australia.
Karena bepergian lintas negara masih cukup merepotkan, dimana isolasi di negara tujuan, mungkin tidak akan bisa terelakkan, lokasi-lokasi wisata domestik akan semakin diminati. Apalagi pemerintah sedang berusaha mengembangkan sepuluh destinasi Bali baru, di antaranya Danau Toba, Lombok dan Borobudur. Di pulau Jawa saja, semakin berkembang lokasi-lokasi wisata, seperti Kawah Ijen di Jawa Timur, Kebun Teh Kemuning Solo, Jawa Tengah, dan sebagainya.
Perjalanan dan wisata tahun di semester pertama 2021 mungkin sedikit tertolong dengan libur Imlek di awal Februari serta long-weekend pada Maret dan April, namun perlu usaha ekstra untuk survive sampai periode Lebaran di bulan Mei.
Meski saat ini harga-harga penginapan murah dan banyak penawaran perjalanan dengan diskon yang besar, sebagian besar para ahli memprediksi bahwa begitu publik mulai melakukan perjalanan lagi, kira-kira pada pertengahan tahun ini, harga akan mulai naik. Pasalnya, hotel harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk pembersihan dan ‘pensterilan’. Tiket penerbangan juga akan menjadi mahal, karena pilihan maskapai penerbangan yang akan semakin kecil, serta rute penerbangan yang dikurangi atau ditutup.