Beberapa hari terakhir ini aktifitas-aktifitas di jalan raya, di pasar-pasar dan di daerah pemukiman penduduk mulai kembali bergeliat walau belum seperti normal sebelum bancana wabah Covid-19 menyelimuti Indonesia.
Sungguh sangat disayangkan, menurut Kover. 14 hari telah berlalu sejak Pemerintah menghimbau masyarakat Indonesia untuk karantina mandiri di rumah yang lebih kerennya dikenal dengan semboyan #dirumahaja, atau #stayingathome atau #workingfromhome. Sejak 6 April 2020, di kota Medan sendiri, beberapa perkantoran telah kembali beraktifitas, beberapa kegiatan perkuliahan juga, walau sekolah-sekolah dasar sampai menengah atas masih dengan gamang melanjutkan program-program belajar online yang tidak terlalu efektif dan memuaskan.
Prinsip ”kalau tidak kerja, ya tidak makan” memang mengena ke seluruh lapisan masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ada empat sektor yang terutama menerima pukulan pandemi Covid-19 ini, yakni yaitu rumah tangga, UMKM, korporasi (termasuk di sini adalah manufaktur, perdagangan, transportasi, serta akomodasi seperti perhotelan dan restoran), dan sektor keuangan. Selain usaha-usaha yang telah gulung tikar atau beralih fungsi, tidak sedikit pegawai-pegawai yang telah dirumahkan dengan ataupun tanpa gaji.
Sementara dari analisa yang dilakukan oleh Dr. dr. Beni Satria, M.Kes, S.H, M.H (Kes) dari sudut pandang hukum kesehatan, seperti yang telah dipaparkan kepada Kover, tidak ada jalan lain yang lebih efektif saat ini selain kedisiplinan seluruh masyarakat untuk menjaga social and physical distancing.
Kerugian akan tetap berjalan, karena ini memang bencana. Namun untuk mencegah kerugian yang lebih besar lagi rakyat serempak harus mengambil peranan penting ini, dan ini memerlukan penegasan hukum, kalau proses berjalan setengah-setengah, usaha yang sudah dilakukan akan menjadi sia-sia.
Menurut dr. Beni, Indonesia masih menggunakan UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1984 oleh Presiden Soeharto, dimana tujuan penanggulangan wabah dikatakan adalah untuk memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan, serta membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak, dan wabah tidak meluas ke daerah lain.
Di dalam UU No. 4 tahun 1984 tersebut, seperti yang dijelaskan juga oleh dr.Beni, founder Achilles Health Law Indonesia (AHLI), upaya penanggulangan meliputi penyelidikan epidemiologis, pengobatan dan perawatan termasuk karantina, pencegahan dan pengebalan, pemusnahan penyebab penyakit dan penanganan jenazah. Di dalam undang-undang tersebut dikatakan juga bahwa Pemerintah wajib memberikan apa yang menjadi hak-hak rakyat khususnya hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis dan kebutuhan kehidupan sehari-hari seperti kebutuhan pangan.
UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan beberapa jenis karantina, yakni karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB). Menurut dr. Beni, saat ini Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi, belum berencana untuk menetapkan karantina wilayah untuk kota Medan. Tentu kita paham ini akan berdampak jauh lebih besar pada perekonomian rakyat, sekaligus APBD Sumatera Utara mungkin belum mampu untuk menyediakan hak medis dan hak-hak kebutuhan dasar bagi masyarakatnya.
Kapoldasu belum terdengar melancarkan penegasan hukum penanggulangan Covid-19 di Sumatera Utara padahal sosialisasi mengenai penyakit ini dan aturan-aturan yang berlaku sudah cukup. Padahal menurut dr Beni pasal 14 dari UU No.4 tahun 1984 sudah cukup untuk menjadi landasan hukum untuk menindak warga yang menolak.
Dikatakan di ayat 1: Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Kegiatan yang dimaksud di sini termasuk menghalangi pemeriksaan atau pengobatan, menghadiri maupun mengadakan keramaian, bahkan menghalangi penanganan jenazah sesuai protap Covid-19.Selain itu, Pasal 93 UU 6/2018 menyatakan bahwa: Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Penulis: Elsa Malona