Mendengar nama Douwes Dekker mungkin sudah tak asing lagi di telinga. Pasalnya, ia merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan Indonesia. Menariknya, meskipun berasal dari Belanda, pemilik nama lengkap Eduard Douwes Dekker ini terkenal kritis terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia.
Hal ini tampak dari salah satu karya yang bernama Max Havelaar, yang mana ia mengecam keras ketidakadilan yang terjadi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), yang pada akhirnya turut memicu kesadaran akan pentingnya kemerdekaan di kalangan bangsa Indonesia.
Latar Belakang Kehidupan Eduard Douwes Dekker
Dekker lahir pada 2 Maret 1820 di Amsterdam, Belanda. Dia berasal dari keluarga kelas menengah yang cukup terhormat dan berpendidikan. Ayahnya adalah seorang kapten kapal yang cukup besar dengan penghasilan yang besar. Ia memiliki saudara bernama Jan yang merupakan kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.
Eduard kemudian disekolahkan di sekolah Latin yang nantinya bisa meneruskan jenjang pendidikan ke universitas. Pada awalnya Eduard menempuh pendidikan dengan lancar karena Eduard merupakan murid yang berprestasi dan cukup pandai. Namun lama kelamaan Eduard merasa bosan sehingga prestasinya merosot. Hal ini membuat ayahnya langsung mengeluarkannya dari sekolah dan ia ditempatkan di sebuah kantor dagang.
Bagi Eduard, penempatannya di sebuah kantor dagang membuatnya merasa dijauhkan dari pergaulan dengan kawan-kawannya sesama keluarga berkecukupan; ia bahkan ditempatkan di posisi yang dianggapnya hina sebagai pembantu di sebuah kantor kecil perusahaan tekstil.
Di sanalah dirinya merasa bagaimana menjadi seorang miskin dan berada di kalangan bawah masyarakat. Pekerjaan ini dilakukannya selama empat tahun dan meninggalkan kesan yang tidak terlupakan selama hidupnya. “Dari hidup di kalangan yang memiliki pengaruh kemudian hidup di kalangan bawah masyarakat membuatnya mengetahui bahwa banyak kalangan masyarakat yang tidak memiliki pengaruh dan perlindungan apa-apa”, seperti yang diucapkan Paul van ‘t Veer dalam biografi Multatuli.
Selang beberapa tahun, yakni pada tahun 1838 di usia 18 tahun, Ia memasuki dunia kolonial. Ia berlayar ke Hindia Belanda untuk bekerja sebagai pegawai administrasi kolonial. Dalam perjalanannya selama bertahun-tahun, ia menyaksikan langsung berbagai bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap penduduk pribumi.
Pengalaman di Hindia Belanda
Selain itu, Dekker juga pernah bekerja di beberapa wilayah di Hindia Belanda, termasuk Sumatra dan Jawa. Di Jawa, dia menduduki jabatan Asisten Residen di Lebak, Banten. Bermula dari sinilah, ia menyaksikan bagaimana para pejabat kolonial Belanda serta para pemimpin pribumi mengeksploitasi penduduk lokal melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel).
Penduduk Indonesia dipaksa menanam tanaman yang menguntungkan Belanda, seperti kopi dan gula, dengan sedikit atau tanpa kompensasi. Sistem ini menimbulkan penderitaan yang luar biasa bagi rakyat pribumi, yang sering kali kelaparan dan hidup dalam kemiskinan.
Melihat hal itu, Dekker mencoba untuk mengungkap ketidakadilan ini melalui saluran resmi kolonial, tetapi upayanya tidak mendapat tanggapan. Merasa frustrasi dan kecewa dengan sistem yang korup tersebut, pemilik nama pena Multatuli itu pun memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 1856 dan kembali ke Belanda.
Max Havelaar: Kritik Terhadap Kolonialisme
Usai kembali ke Belanda, Dekker menulis novel Max Havelaar, yang diterbitkan pada tahun 1860. Novel ini mengisahkan tentang seorang pegawai kolonial bernama Max Havelaar yang mencoba untuk melawan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat pribumi di Lebak. Melalui tokoh Havelaar, Dekker mengungkapkan kritik pedas terhadap sistem kolonial yang korup dan tidak manusiawi. Karya ini membuat sebagian besar mata publik dunia terbuka.
Sebelumnya Eduard Douwes Dekker pun telah meyakini bahwa karyanya nanti akan dibaca masyarakat dunia. Max Havelaar bukan hanya sebuah karya sastra, tetapi juga merupakan seruan moral kepada bangsa Belanda. Dekker menulis novel ini dengan tujuan untuk membuka mata masyarakat Belanda terhadap penderitaan yang dialami oleh rakyat Indonesia di bawah kekuasaan kolonial. Novel ini menjadi sangat terkenal dan memicu perdebatan di kalangan intelektual serta masyarakat umum di Belanda. Hingga sekarang, bisa dibilang Max Havelaar adalah salah satu karyanya yang populer.
“Hanya ada beberapa keadaan di dunia materi ini yang tidak memberi kesempatan kepada seorang pemikir untuk melakukan pengamatan secara cerdas, sehingga aku sering bertanya pada diriku sendiri apakah banyaknya kesalahan yang telah kita anggap lumrah, banyaknya ketidakadilan yang kita pikir benar berasal dari fakta bahwa kita telah kelamaan duduk dengan teman yang sama di dalam kereta pelancong yang sama,” itulah salah satu isi kalimat dalam novel Max Havelaar karya Multatuli.
Selain Max Havelaar, ada pula beberapa tulisan lain yang sempat ia hasilkan mengenai politik, etika dan filsafat lewat buku-bukunya. Bukunya yang lain adalah Woutertje Pieterse dan Minnebrieven.
Pengaruh Terhadap Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Walaupun Dekker tidak secara langsung terlibat dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, karyanya memainkan peran penting dalam memicu kesadaran akan ketidakadilan kolonial di Hindia Belanda. Max Havelaar dianggap sebagai salah satu karya yang menginspirasi para pemimpin pergerakan nasional Indonesia, seperti Sukarno, yang kemudian menjadi presiden pertama Indonesia.
Dekker juga mempengaruhi perubahan kebijakan kolonial Belanda. Setelah penerbitan Max Havelaar, muncul tekanan dari masyarakat Belanda untuk melakukan reformasi di Hindia Belanda. Meskipun perubahan yang terjadi tidak langsung mengarah pada kemerdekaan, namun kritik Dekker membantu membentuk wacana tentang pentingnya menghormati hak-hak penduduk pribumi.
Warisan Eduard Douwes Dekker
Eduard Douwes Dekker meninggal di Ingelheim, Jerman, pada 19 Februari 1887. Namun, warisannya tetap hidup melalui karyanya dan pengaruhnya dalam sejarah Indonesia. Max Havelaar tetap menjadi bacaan penting dalam studi kolonialisme dan sejarah Indonesia, serta mengingatkan kita tentang pentingnya suara-suara yang berani berbicara melawan ketidakadilan.
Dekker adalah contoh seorang yang, meskipun berasal dari bangsa penjajah, memilih untuk berpihak pada keadilan dan kemanusiaan. Karyanya mengajarkan bahwa kebenaran dan keadilan adalah nilai-nilai universal yang harus diperjuangkan, terlepas dari asal usul bangsa dan latar belakang budaya.
Eduard Douwes Dekker adalah contoh figur nyata yang luar biasa baik dalam sejarah Indonesia maupun Belanda. Melalui karyanya Max Havelaar, dia menunjukkan keberanian untuk menantang sistem yang korup dan menindas. Meskipun hidupnya penuh dengan kekecewaan dan frustrasi, Dekker berhasil memberikan kontribusi penting dalam memperjuangkan keadilan dan, secara tidak langsung, kemerdekaan Indonesia.