Kover Magazine mengadakan diskusi RUU Permusikan di Jalan Iskandar Muda, No 133/24 J, Medan, Jumat (8/02/2018). Puluhan musisi, hingga komposer musik menghadiri perbincangan tersebut.
Telah diketahui, dari awal munculnya RUU ini, banyak musisi se- Indonesia beramai-ramai menolak. Dalam diskusi itu, redaksi Kover Magazine mengundang sejumlah pembicara yang kompeten, di antaranya; Erucakra Mahameru, BMus, MM (music publisher, ketua DPD PAPRI SUMUT, kepala perwakilan KCI Sumut), Irwansyah Harahap, MA (komposer, musisi, etnomusikolog), Rithaony Hutajulu, MA (musisi dan etnomusikolog), Dr. Junita Batubara (komposer dan akademisi), dan Boydo H.K. Panjaitan, SH (Ketua komisi C DPRD Kota Medan)
Munculnya RUU ini memang sangat kontroversial, banyak musisi mengutarakan bahwa adanya RUU ini kemungkinan bisa menghambat kreativitas musisi tersebut.
“Mengenai pasal RUU ini, saya menangkap paling problem adalah pasal 5. Awalnya memang terdengar ideal, tapi musik atau seni adalah ekspresi yang tidak bisa dibandingkan dengan unsur komunikasi lain seperti bahasa. Musik itu punya kekuatan untuk mengkritik, menyampaikan apa saja yang secara verbal tidak bisa tersampaikan. Dalam tradisi dunia, musisi punya peran sebagai penjaga kesadaran. Sebenarnya, di situlah kemampuan seorang seniman membuat beberapa orang sadar dan tersinggung. Yang mana bila UU ini akan menyebabkan kekacauan. Saya rasa tidak sehat juga kalau semuanya dilarang, ekspresi seni akan sangat sering terhambat jika sedikit-sedikit dilarang dan harus sesuai lagu Indonesia Raya, misalnya,” ucap Rithaony Hitajulu, sekaligus musisi.
Sejak kemunculan RUU permusikan ini, memang menimbulkan polemik. Apalagi, telah adanya undang -undang hak cipta, membuat para penggiat musik mempertanyakan asal usul RUU ini. Elisantus Sitorus, selaku pemusik independen Kota Medan terus terang mengatakan, bahwa undang undang permusikan tidak perlu ada, apalagi pada RUU tersebut, tercantum tentang sertifikasi kompetensi.
“Musisi independen merasa bingung akan sertifikasi kompetensi yang dimaksud, karena dalam perkembangannya ada hal penting yang harusnya dibahas tapi tidak dibahas. Hal penting tersebut adalah wadah. Hal ini dalam dunia musik tidak hanya pelaku, namun juga ada wadah yang tidak bisa terpisahkan. Kaldera misalnya, bagi saya itu memiliki nilai sendiri. Jika mau diteruskan, saya rasa 90 persen dalam RUU ini, harus dibuang. Wadah ini banyak, tapi hanya menjelaskan jika wadah hanya berupa video recording. Ingat, jangan lupakan penyelenggara kegiatan karena salah satu contoh wadah adalah itu, penyelenggara kegiatan tersebut,” ungkapnya.
Mengenai masalah wadah, pemusik independen ini, mengeluh terhadap kurangnya kerjasama aparatur pemerintah terhadap musisi.
“Teman-teman menitipkan pesan, tolong sampaikan kalau kami keberatan jika harus membayar sekian juta kepada pihak berwajib (polisi) hanya untuk mengadakan kegiatan musik. Harus membayar uang muka dengan nominal sekian, dan sebagainya. Kalau demikian, bagaimana mau mendapat perlindungan bukan?Jika terus berbenturan dengan masalah perizinan, bagaimana dan kapan mau berkembangnya?,” tegasnya.
Polemik yang terjadi di RUU ini, membuat para musisi bertanya-tanya. Tak terkecuali musisi Kota Medan. Seperti yang dilontarkan oleh Elisantus, bahwa keberadaan undang undang ini, kemungkinan akan menghambat kemajuan musik Indonesia. Senada dengan Elisantus, DR Junita Batubara, musisi sekaligus akademisi mengutarakan bahwa undang undang ini akan memperberat musisi, seperti sertifikasi kompetensi.
“Mengenai sertifikasi, secara akademisi memang sudah ada sertifikasi untuk dosen, mungkin hadir opini mengapa tidak ada sertifikasi untuk seniman. Bisa menurut saya, tapi harus dengan lebih teliti lagi. Spesifiknya, yang mau disertifikasi apa tepatnya? Apa yang dipandang? Dan si pemberi sertifikasi juga jangan lupa, apa yang dipandang darinya hingga dia dianggap layak untuk mensertifikasi,” katanya.
Musik yang seharusnya tak terikat, namun dengan adanya peraturan ini, nantinya akan mempersulit daya gerak musik atau musisi. Untuk itu selaku komposer musik, Irwansyah Harahap, mengutarakan tentang dunia kreatifitas para seniman musik tidak bisa dibatasi.
“Sebetulnya kekhawatiran tidak terletak pada persoalan dunia permusikan. Intinya kreatifitas jangan disentuh undang-undang. Untuk apa dibuat, jika elemen-elemennya sudah ada yang urusin. Kita masih menunggu implementasi yang sudah mengurus itu bagaimana? Mengenai soal sertifikasi, saya garis bawahi, kita lihat dalam konteks sosiologis dari sisi skil. Seorang musisi bisa dianalisis kehebatannya seperti apa, tapi dari sisi pengakuan bagaimana? Undang undang ini terlihat menakutkan, karena yang dibicarakan cenderung hukuman bukan rewardnya. Pemusik merasa, takut, mau berkarya nanti karyanya sara, karyanya beginilah atau karyanya begitulah,” ungkapnya.
Tak bisa dipungkiri, di kemudian hari dengan adanya RUU ini kemungkinan akan bergejolak bagi kalangan penggiat musisi. Erucakra Mahameru, music publisher, menjelaskan bahwa munculnya RUU permusikan kemungkinan mengacu pada keadaan undang-undang perfilman.
“Musik adalah salah satu ekspresi dari dunia kesenian. Pertanyaan simplenya, nanti bakal ada UU persenirupaan, dan persenitarian. Kemungkinan ini mengacu pada UU perfilman. Namun kalau kita melihat secara konseptualnya, RUU ini berniat baik, walau perlu banyak revisi, khususnya perlunya sudut pandang lebih yang mengapresiasi pelaku musik, dan bukan menghukum pelaku musik,” serunya.
Pembahasan RUU permusikan ini memang sednag digodok di DPR RI. Namun, menurut Ketua Komisi C DPRD kota Medan, Boydo H K Panjaitan mengatakan, bahwa sebenarnya RUU permusikan sudah pernah ditolak.
“RUU ini sudah pernah ditolak di tahun 2015. Namun, dibahas lagi ke Badan Keahlian DPR, yang kemudian diberikan lagi kepada Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Nah, muncul lagi lah pada 2018 hingga saat ini. Jadi memang tak semua RUU disahkan, sejak 2017 dari ratusan RUU hanya 6 yang disetujui. “katanya.
Ketua Komisi C DPRD kota Medan ini juga menambahkan secara pribadi, ia kurang tertarik terhadap RUU permusikan tersebut.
“Secara pribadi, memang menanggapinya mengapa proses kreasinya dicolek? Kalau mau fokus ke bentuk lain seperti plagiat, kenapa tidak langsung saja atau seperti memperkuat wadah-wadah. Saya juga merasa kurang sreg (setuju), terutama isi paturannya, karena cenderung menjurus kepada memidanakan orang yang berkreasi. Saya paham kita sekarang justru merasa sulitnya musik ini dibirokrasi. Untuk itu, khusus di Kota Medan, terutama musisi apabila ada masalah atau tidak menyetujui RUU ini nantinya, sampaikan saja ke kami,” ucap Boydo.
Walaupun masih rancangan, tetapi kebanyakan musisi Indonesia lebih cenderung menolak RUU permusikan ini, karena akan menimbulkan kebingungan terhadap penggiat musik. Tetapi dari hasil diskusi tersebut, kover magazine berharap bisa menjadi bahan aspirasi yang kemudian akan dibawa melalui DPRD kota Medan untuk dilanjutkan ke pemerintah pusat.
Penulis: Frengki Marbun