Sungai Deli merupakan cerminan peradaban Kota Medan sejak masa lampau. Sungai yang dahulu dikenal dengan sebutan Sei Deli ini, terletak di ibu kota Provinsi Sumatera Utara, menjadikan sungai ini sangat berjaya di masa Kesultanan Deli. Dengan hulu di Kabupaten Karo dan Kabupaten Deli Serdang, Sungai Deli berhilir ke pusat Kota Medan dan bermuara di Selat Malaka.
Sungai Deli ditetapkan sebagai bagian dari Wilayah Sungai (WS) Belawan-Ular-Padang yang disebut dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 04/PRT/M/2015. Areal DAS Deli memiliki luas 48.162 hektare, dengan panjang 73 kilometer dan lebar 5,58 meter.
Dikutip dari buku berjudul “Jejak Medan Tempo Doloe” yang ditulis oleh Farizal Nasution, kala itu Sungai Deli bagian utara, barat dan timur laut bermukim suku Melayu, bagian barat daya ditempati kelompok etnik Tamil, orang-orang Cina mendiami bagian timur ke arah pusat pasar dan bagian selatan dihuni oleh kaum Eropa.
Pada tepi Sungai Deli dahulu terdapat “Labuhan Deli”, cikal bakal Pelabuhan Belawan saat ini. Tahun 1915, Labuhan (pelabuhan) Deli dipindahkan ke Belawan karena Sungai Deli yang mulai dangkal menyebabkan kapal sulit berlabuh.
Pusat Pemerintahan
Di era kolonial Belanda, perkembangan Kota Medan berpusat di pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura. Banyak gedung milik Belanda maupun pengusaha perkebunan dibangun di kawasan tersebut. Sepanjang alur Sungai Deli yang melintasi pusat Kota Medan juga menjadi pemukiman bagi orang-orang Eropa.
Kota Medan pada tahun 1945 mengalami perkembangan pesat. Banyak lahan di sepanjang jalur Sungai Deli yang dibangun perkantoran sehingga kawasan ini terkenal padat aktivitas. Beberapa bangunan yang berada pada daerah ini adalah percetakan, stasiun kereta api, Wisma Benteng, Hotel De Boer (sekarang Grand Inna Medan), de Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia), Deli Maatschappij (sekarang kantor Gubernur Sumatera Utara), hingga de Esplanade (sekarang Lapangan Merdeka).
Sarana Transportasi
Sungai Deli yang merupakan sungai warisan Kesultanan Deli, dahulunya digunakan sebagai jalur transportasi hasil perkebunan dan tempat penangkapan ikan. Hal tersebut senada dengan yang disampaikan Ketua Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Sumatera Utara, Edi Sumarno.
“Sungai Deli cukup dikenal bahkan sebelum masa kolonial Belanda. Pada awal abad ke-19 dinyatakan bahwa sungai ini adalah sungai penting karena sering dijadikan tempat perdagangan lada dan tembakau. Sungai Deli juga dijadikan sebagai jalur transportasi karena dahulu belum ada kereta api atau pun pesawat terbang. Hal yang terpenting adalah menghubungkan daerah pesisir hingga pedalaman atau antara hulu hingga hilir. Barang-barang dari hulu diekspor ke hilir dan disebarkan ke pasar atau ke semenanjung, dan juga barang-barang dari luar masuk dari pesisir, jadi semacam pertukaran ekonomi,” ungkap Edi.
Jalur Perdagangan
Pada tahun 1820-an, Sungai Deli menjadi pusat perdagangan sehingga dijadikan maskot bagi Kesultanan Deli. Kala itu warga juga sangat menjaga kelestarian Sungai Deli, sehingga mayoritas posisi rumah di bantaran Sungai Deli menghadap ke arah sungai.
“Dahulunya posisi rumah menghadap sungai, karena warga sekitar melakukan perdagangan lada, tembakau, madu dan lainnya. Berbeda dengan sekarang, posisi rumah membelakangi sungai, sehingga menyebabkan munculnya pola pikir bahwa sungai itu seakan tidak penting lagi. Apalagi dengan berkembangnya zaman, sungai sekarang malah sebagai tempat sampah,” jelasnya lagi.
Kala itu warga sangat membutuhkan sungai sebagai sarana untuk mencari nafkah. Namun perdagangan lewat transportasi sungai tidak senyaman yang dipikirkan. Banyak kendala yang terjadi, diantaranya perebutan wilayah atau rute untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak saat ekspor dan impor barang.
Tertinggal Perkembangan Zaman
Jika dibandingkan dengan saat ini, sungai yang ada di Medan seakan mati suri karena tak terurus. Selain faktor perkembangan zaman, pola pikir masyarakat juga menyebabkan sungai yang ada di Kota Medan tidak terawat dengan baik. Edi Sumarno mengutarakan bahwa mindset masyarakat di zaman sekarang menganggap bahwa sungai sudah tidak dibutuhkan lagi karena proses kegiatan perdagangan sudah tidak melalui sungai lagi.
“Kita sekarang melihat, kereta api sudah ada, pesawat terbang hingga transportasi laut sudah semakin canggih. Apalagi setelah jalan raya Delitua–Medan dibangun, sungai kemudian ditinggalkan. Hulu Sungai Deli ada di Karo dan hilir berada di Belawan, jadi begitu panjangnya Sungai Deli hingga sampai saat ini sungai ini masih menjadi ikon Kota Medan yang memiliki sejarah panjang sebagai jalur transportasi. Tetapi seharusnya sungai tetap dijaga walau sudah tidak digunakan sebagai jalur transportasi karena sungai adalah bagian dari lingkungan. Jika sungai tercemar, manusianya bisa rusak, terkena penyakit,” tutur Edi.
Tercemar Sampah dan Limbah
Pergeseran fungsi sungai telah terjadi semenjak manusia menggunakan sarana transportasi yang semakin maju seperti kereta api, kapal, dan pesawat. Menurut Edi, kemajuan zaman adalah faktor utama, namun jumlah penduduk juga mempengaruhi. Banyaknya penduduk di bantaran sungai berdampak pada kualitas sungai. Pinggiran sungai akan menyempit dan menyebabkan air keruh hingga muncul banjir.
“Sungai yang dahulunya adalah sumber kehidupan dan sangat dibutuhkan masyarakat, sekarang sungai dianggap sebagai tempat sampah bahkan karena kurangnya kesadaran masyarakat, sungai digunakan sebagai tempat pembuangan limbah hingga menyebabkan sungai tidak steril lagi,” pungkas Edi.
Pergeseran Fungsi
Sungai Deli pada masa lampau pernah menjadi lumbung ikan bagi nelayan. Sungai ini adalah sumber mata pencaharian bagi warga pinggiran sungai selain mengandalkan hasil perkebunan. Air sungainya pun masih terjaga dan jauh dari pencemaran sampah. Tak heran jika masyarakat pada zaman dahulu mengelola Sungai Deli menjadi air yang bisa diminum.
Perkembangan zaman membuat keberadaan sungai terabaikan bahkan beralih sebagai tempat sampah hingga tercemar pembuangan limbah dan pemukiman kumuh. Pergeseran peran Sungai Deli pun menyebabkan terjadinya degradasi, yakni penyusutan wilayah. Kebanyakan masyarakat yang bermukim di bantaran Sungai Deli pun masih menggunakan air sungai sebagai tempat mandi, cuci dan kakus.