Menyesapi Harmoni Alam Bakkara, Harta Karun yang Terlupakan

HUMBAHAS | Di balik terjal bukit sabana dan hamparan Danau Toba nan mempesona, terselip sebuah kisah para raja tahun 1900an.Kisah itu,terulang kembali melalui jepretan Indonesian Master of Photography. Berawal dari sebuah foto seorang Belanda, yang mengabadikan realita sosial Batak di daerah Danau Toba pada zaman penjajah. Terciptalah, sebuah hasil karya yang sangat sempurna. Lalu dituangkan dalam sebuah buku karya ilmiah yang cukup berharga.

Kini, kenangan indah itu hanya menyisakan kenangan semata.Tak banyak generasi bangsa, mengulangi kembali kisah itu dengan nyata, padahal ini merupakan warisan berharga.Tapi, dilupakan begitu saja. Padahal Jepang yang dikenal sebagai salah satu negara platform teknologi, tetap mampu menjunjung budaya lokal, macam budaya minum teh, Tako, Matsuri, Shogi dan banyak lainnya.

Realita sosial dan budaya masyarakat Indonesia, terkhusus di pinggiran Danau Toba memang amat kaya, berbagai suku tersebar di pinggiran danau vulkanik terbesar di dunia ini, Cerita panjang yang terukir, jauh sebelum Indonesia merdeka. Harusnya, ini membuka pintu cakrawala pada pemerintahan, memprkenalkan kepada dunia, Indonesia kaya akan budaya.
Berangkat dari situ, Kafe Potret yang sedang merayakan hari jadi keduanya, mengundang Indonesian Master of Photogrphy untuk mengabadikan foto realita sosial di zaman 1900-an, yang bertajuk Batak Imagery 1900 Land of The King di Bakkara, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas).

Tempat yang dihuni oleh marga Simamora, Manullang, Purba dan Sihite ini pun dipilih karena merupakan asal-muasal kelahiran Sisingamangaraja dari I-XII. terpilih menjadi tempat jepretan photografer senior yang telah melalang buan.Tempat ini, merupakan kelahiran Sisingamangaraja dari I-XII. Acara ini juga bertujuan memperkenalkan realita sosial budaya Batak, berbalut keindahan Danau Toba kepada nusantara lewat rekam lensa.

Lembah Bakkara

Malam pun semakin gelap gulita. Rombongan mulai bergegas bergerak dengan serentak menuju ke Bakkara. Waktu tempuh dari Medan ke tempat tujuan sekitar 6 jam lamanya, dengan jarak 280 Kilometer. Jalur darat yang dianjurkan melaui Tanah Karo menujuk Dolok Sanggul, karena lebih cepat dari jalan lintas barat Sumatera.

Bisa juga, kalau hendak memakai jasa transportasi udara, dengan tujuan Silangit. Bandara ini sudah dapat memfasilitasi pesawat ukuran berjenis ATR. Perjalanan malam yang ditempuh tak serta merta membosankan. Sebab, udara pegunungan dari Tanah Karo membuat tubuh merasakan segar, tentunya tak ditemui di perkotaan. Sentuhan cuaca dingin membuat mata sesekali terpejam.Tak terasa, matahari mulai memancarkan sinarnya dengaan indah di ufuk timur. Ternyata laju roda mobil telah sampai di daerak Dolok Sanggul.

Usai berkemas, rombongan pun langsung menuju Bakkara, hanya membutuhkan waktu 20 menit mata ini sudah bisa melihat keindahan buatan sang pencipta. Sisi kanan terlihat bukit yang penuh sabana. tampak rimbun pohon-pohon pinus yang ujungnya berwarna merah.

Tetiba laju mobil terhenti di sebuah tempat terbuka. Sang master pun turun guna mengabadikan keindahan Lembah Bakkara. Bisa dikatakan, tak afdol rasanya, bila tidak mengabadikan dengan kamera tempat yang lagi hits bagi anak muda. Bagaimana tidak indah, lembah ini bisa dikatakan berbeda dengan daerah yang ada di seputaran Danau Toba, petak-petak sawah yang menguning dengan sentuhan sungai yang mengalir ke danau sebagai pelengkapnya. lalu keindahan itu diapit hutan sabana dan Danau Toba sebagai penyempurna keindahan yang tiada tara.

Setelah puas mengabadikan salah satu spot Bakkara yang lagi hits ini, kendaraan pun kembali berpacu. Oh ya, jangan lupa memeriksa kendaraan Anda agar berjalan dengan sempurna. Karena, akan fatal jika kendaraan tidak sehat untuk menuju ke tempat kelahiran Sisingamangaraja.

Tombak Sulu-sulu

Setelah bermalam di penginapan kawasan Dolok Sanggul, rombongan mulai bergerak kembali menuju ke Bakkara. Kali ini, tempat yang dikunjungi dalam pemotretan adalah tempat yang sakral, terutama bagi kepercayaan Parmalim. Karena, inilah tempat lahirnya Sisingamangaraja I, di Desa Marbun Dolok.

Perjalanan pun dilanjutkan dengan mendaki, sebab tempatnya yang berada di atas bukit. Sesampainya, sebuah gazebo yang cukup besar tersedia.Hal ini bertujuan sebagai persinggahan bagi para penziarah maupun pendatang. Untuk masuk ke tempat ini, terlebih dahulu melepaskan alas kaki.

“Selain tak diperbolehkan memakai alas kaki, di tempat ini dianjurkan memakai ulos.Serta, paling pantang para pendatang yang hendak ke sini makan babi atau anjing. Karena, haram hukumnya makan kedua daging itu,” ucap Tokoh Adat Desar Marbun Dolok, Sohol Marbun.

Pantangan ini dibuat karena kepercayaan Parmalim tidak diperbolehkan makan babi dan anjing, yang sudah sejak lama dianut oleh Sisingamangaraja.“Masyarakat di sini sangat percaya, jika ada yang makan uang diharamkan tersebut akan terkena musibah,”terangnya.

Selain melihat tempat kelahiranya, Anda juga akan menemui batu gamping yang sudah berumur sekitar 250 juta tahun silam atau zaman Mesozoitum. dimana terdapat gua kecil yang dipercaya tempat lahir Sisingamangaraja.Lokasi ini adalah tempat perangiran dan pertonuan Boru Pasaribu, istri Bana Ni Onan Sinambela.Kisahnya, di tempat ini, Boru Pasaribu menerima wahyu dari Muljadi Na Bolon bahwa dia akan mengandung dan melahirka seorang anak sakti yang kelak menjadi raja. Ketika anak itu lahir, Bumi bergetar sehingga diberikan nama Manghutal.

Baca Juga:  Ketahui Pemilik Maskapai Penerbangan Yang Ada di Indonesia, Siapa Saja?

Banyak cerita seputar asal usul tempat lahirnya Sisingamangaraja I ini, salah satunya cerita tentang ibu Sisigamangaraja I dikejar oleh Belanda.Dia pun mencari tempat persembunyian yang paling aman agar tidak diketahui oleh Belanda .“Jadi ibunya berdiam diri agar tak ketahuan oleh Belanda, hanya saja ketika itu, ia lagi mengandung,”ucapnya.

Sang ibu pun sering melakukan penenunan baju untuk dipakai sehari-hari. Oleh karena itu, masyarakat Bakkara menganggap tempat ini cukup sakral.“Di sini juga bisa berdoa untuk murah rezeki, kesehatan dan lainnya,”ucap Sohol.

Tempat ini pun sangat dijaga oleh pemerintah setempat. Sebab, Bidang Promosi Dinas Pariwisata Humbahas, Harapan Sibarani mengatakan, Tobak Sulu-sulu merupakan start awal jika berwisata di Bakkara ini. “Karena Bakkara merupakan objek wisata budaya berbasis sejarah sebagai perkenalan kepada masyarakat,”ucapnya.

Istana Sisingamangaraja

Usai melihat tempat lahir, tak pas rasanya, bila tidak berkunjung ke Istana Sisingamangaraja. Untuk menuju ke sana, butuh sekitar 20 menit berkendara agar sampai di tempat singgasana Sisigamangaraja, di Desa Sinambela. Sebuah gapura besar bertuliskan “Horas” sebagai penanda masuk ke istana. Dari pagar ini, memang hanya kelihatan tangga saja, belum tampak keindahan istana. Namun, terus menaiki tangga batu ini, barulah kelihatan kemegahan empat rumah Bolon tersebut.Serta memiliki halaman yang cukup luas.

Penjaga Istana Sisingamangajara, Hileria Boru Sinambela mengisahkan, kerajaan ini sempat dibakar oleh Belanda pada masa peperangan pada tahun 1883. Konon katanya, pada tahun 1907 ibu Sisingamangaraja dan Sisingamangajara XII gugur dalam mendan pertempuran.

“Kemudian setelah Indonesia merdeka, lalu ditempati lagi, dan dilakukan renovasi besar-besaran tahun 1980-an,”ucap generasi Sisingamangaraja ke 14 ini.

Gerbang Batu

Setelah mengetahui sejarah singkat Sisingamangaraja dan istana nan megah, jangan kelupaan melihat kehidupan rakyatnya. Di Gerbang Batu, Desa Tipang Mas sebagai saksi sejarah kehidupan masyarakat pada zamannya.

Jarak dari istana ke Lubang Batu tak terpaut jauh.Hanya saja, agar mengetahui tempat ini harus berjalan kaki menyurusi perkebunan warga sekama 10 menit lamanya. Setelah sampai, terlihat dua rumah Bolon yang sudah cukup usang warnanya. Diyakini, rumah ini sudah berdiri sejak ratusan tahun lalu.Kabarnya, cat yang digunakan berasal dari batu-batuan yang dilembur menjadi sebuah cat.

Di dekat rumah itu, ada sebuah kuburan batu berwarnah putih dengan bentuk patung. Usut punya usut, tempat ini diyakini kuburan Opu Raja Julu, yang sejak 300 tahun yang silam telah ada.Kuburan ini dianggap asli, karena pemakamannya memakai batu asli yang sudah berusia ratusan tahun lalu, dan tulang-tulang masih ada di dalam.

Yang cukup mencuri perhatian lainnya adalah Gerbang Batu yang tak jauh dari kuburan tersebut.Tempat ini dulunya diyakini sebagai tembok perkampugan dengan luas berdiameter 300 meter x 6 meter.Dulunya, berfugsi sebagai penahan dari perlawanan penjajah Belanda.

Air Terjun Janji

Tempat lain yang tak kalah serunya adalah Air Terjun Janji, berada di Desa Tipang Mas. Bisa dikatakan, Bakkara adalah lokasi yang mimiliki banyak air terjun. Atau boleh juga disapa dengan surganya para penikmat air terjun. Dari pinggir jalan, suara gemericik air terjun sudah memanggil. Melalui anak tangga, sebuah air terjun yang panjangnya sekitar 40 meter diapit oleh bukit-bukit sabanapun akhirnya tampak. Sedikit menyentuh percikan air, sudah membuktikan rasa kesegarannya. Tak heran bila ramai wisatawan terutama yang tinggal di Dolok Sanggul sering berkunjung.

Setelah sesi pemotretan usai, rombongan mencicipi sajian ikan bakar khas di restoran Tipang Mas. Rasa gurih ditambah dengan berbagai sambal (Tuktuk, cabai merah, kecap manis dll) berbalut suasana khas danau, jadi menambah nafsu menyantap makanan.

Selain Air Terjun Janji, ada juga tempat yang cukup keramat bagi warga setempat yakin, Aek Sipangolu. Konon, Raja Sisingamangaraja I berhenti karena gajahnya kehausan. Sang Raja kemudian meminta kepada Muljadi Na Bolon agar menancapkan tongkat saktinya pada sebuah batu yang kemudian menjadi mata air.

Hasilnya, sampai saat ini air ini dapat dipercaya mampu menyembuhkan berbagai penyakit sehingga dijuluki air kehidupun.Tak heran, banyak warga yang datang ke tempat ini sebatas untuk menikmati segarnya mata air sembari meneguk air pertanda untuk obat. (***)