
Medan, KoverMagz – Hari Ibu adalah hari peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya. Peringatan dan perayaan biasanya dilakukan dengan membebastugaskan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.
Di berbagai belahan dunia pun hari ibu diperingati di tanggal yang berbeda-beda. Di Indonesia, hari ibu dirayakan pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional.
SEJARAH HARI IBU DI INDONESIA
Momen ini ditetapkan sejak pelaksanaan Kongres Perempuan pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Saat itu, perempuan Indonesia menjalin kesatuan semangat juang kaum perempuan untuk bersama kaum laki-laki berjuang meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka.
Pada 22-25 Desember 1928 organisasi-organisasi perempuan mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta. Susan Blackburn dalam buku Kongres Perempuan Pertama (2007) mencatat, sejumlah organisasi perempuan yang terlibat antara lain Wanita Oetomo, Poetri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyiyah, Wanita Moeljo, Darmo Laksmi, Wanita Taman Siswa, juga sayap perempuan dari berbagai organisasi pergerakan seperti Sarekat Islam, Jong Java, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain.
Selain itu, para perwakilan dari perhimpunan pergerakan, partai politik, maupun organisasi pemuda juga datang ke Kongres Perempuan Indonesia perdana ini, termasuk wakil dari Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Partai Nasional Indonesia (PNI), Jong Java, Jong Madoera, Jong Islamieten Bond, dan seterusnya.
Inisiatif pelaksanaan kongres ini berasal dari 3 orang wanita yaitu:
1. Nyonya Soekonto dari Wanita Oetomo
2. Nyi Hadjar Dewantara dari Taman Siswa
3. Nona Soejatin dari Poetri Indonesia.
Kongres itu, tulis Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia, menuntut pemerintah kolonial untuk meningkatkan jumlah sekolah untuk anak perempuan. Perempuan di era pra-kemerdekaan jarang yang bersekolah karena dianggap tugasnya hanya berada di rumah. Karena itulah, sekolah lebih diutamakan untuk anak laki-laki.
Adapun alasan yang melandaskan kaum ibu tersebut berinisiatif untuk membuat Kongres Perempuan ialah :
PENDIDIKAN KAUM PEREMPUAN
Kongres itu, tulis Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia, menuntut pemerintah kolonial untuk meningkatkan jumlah sekolah untuk anak perempuan. Perempuan di era pra-kemerdekaan jarang yang bersekolah karena dianggap tugasnya hanya berada di rumah. Karena itulah, sekolah lebih diutamakan untuk anak laki-laki
Saat ini, setiap anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dasar. Tetapi, kata Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan, Keluarga, dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Rohika Kurniadi Sari mengatakan masih banyak keluarga yang beranggapan perempuan tak boleh mengejar pendidikan lebih tinggi dibanding laki-laki.
PERNIKAHAN ANAK
Dikutip dari Tirto.id, ada bahasan mengenai perkawinan anak yang disampaikan oleh Moega Roemah di hari kedua kongres tersebut. Perkawinan anak sering dialami perempuan belia di bawah umur padahal itu berbahaya bagi kesehatan. Para perempuan di Kongres tersebut menentang perkawinan tersebut.
Di masa sekarang, perkawinan anak memang dianjurkan untuk dihindari dengan peningkatan batas usia pengantin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Namun, hal ini ternyata tak mengurangi jumah pengantin anak secara signifikan. Padahal, anak perempuan yang menikah berisiko kematian ibu yang tinggi, akses pendidikan lebih tinggi, hingga kesehatan mental karena belum siap mengasuh anak. Dikutip dari VOA, data Dana Kependudukan PBB menyebutkan Indonesia menempati urutan 8 perkawinan anak terbesar di dunia.
POLIGAMI
Pada Kongres Perempuan I, terjadi perdebatan pro-kontra mengenai poligini atau poligami dengan memadu perempuan. Perdebatan terjadi antara Sitti Moendjijah dari Aisyiah, organisasi perempuan Muhammadiyah, yang membela poligami. Pidato Moendjijah langsung disanggah oleh Siti Soendari yang menganggap poligami menyebabkan perempuan berada pada posisi yang lemah.
Dilansir dari Historia, panasnya suasana kongres membuat Nyonya Siti Zahra Goenawan, perwakilan Roekoen Wanodijo, berinisiatif melerai. Upaya perempuan yang datang dari Weltevreden (Jakarta) itu berhasil dengan tak dilanjutkannya perdebatan tentang poligami dan hak-hak perkawinan.
Salah satu hasil kongres ini adalah mendirikan badan permufakatan bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang bertujuan menjadi pertalian segala perhimpunan perempuan Indonesia dan memperbaiki nasib dan derajat perempuan Indonesia. Kongres ini bertujuan untuk mempersatukan cita-cita dan usaha memajukan perempuan Indonesia dan menggabungkan organisasi-organisasi perempuan Indonesia dalam suatu badan federasi yang demokratis tanpa memandang latar belakang agama, politik, dan kedudukan sosial dalam masyarakat.
Sejarah Hari Ibu berlanjut saat pada 20-24 Juli 1935 diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Dalam kongres ini dibentuk BPBH (Badan Pemberantasan Buta Huruf) dan menentang perlakuan tidak wajar atas buruh perempuan perusahaan batik di Lasem, Rembang, Jawa Tengah
Lalu, 23-27 Juli 1938 diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung. Nah, dalam kongres ini lah ditetapkannya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu dan menjadi tonggak sejarah Hari Ibu di Indonesia. Akhirnya, Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 menetapkan bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional, hingga kini. Pada 22 Desember 1965, Presiden Soekarno dalam peringatan Hari Ibu menegaskan bahwa perempuan adalah tiang negara. Oleh karena itu, perempuan diharapkan bersatu agar negara Indonesia tetap kuat.
MONUMEN KONGRES PEREMPUAN
Untuk mengenang kongres perempuan pertama, pada kongres di Bandung tahun 1952 diusulkan dibuat sebuah monumen. Setahun berikutnya diletakkan batu pertama oleh Ibu Sukanto (ketua kongres pertama) untuk pembangunan Balai Srikandi dan diresmikan oleh menteri Maria Ulfah tahun 1956. Maria Ulfah adala menteri perempuan pertama di Indonesia. Akhirnya pada tahun 1983 Presiden Soeharto meresmikan keseluruhan kompleks monumen menjadi Mandala Bhakti Wanitatama di Jl. Laksda Adisucipto, Yogyakarta.
Penulis : Annette Thresia Ginting Berbagai Sumber