
Sulawesi Selatan terkenal dengan suku Bugis yang sangat unik dengan budayanya. Pasalnya, suku Bugis yang ada di Sulawesi mengenal lima gender sekaligus di dalam kehidupan masyarakatnya. Padahal, konstruksi masyarakat biasanya hanya mengenal dua gender saja, yaitu maskulin dan juga feminim. Kedua identitas ini melekat pada masyarakat bahwa maskulin adalah simbol dari seorang laki-laki dan feminim adalah simbol dari seorang perempuan.
Sebelumnya, anggapan gender disini bukanlah mengenai jenis kelamin. Gender berbeda dengan atau jenis kelamin yang dibagi menjadi laki-laki dan perempuan. Gender disini lebih diartikan sebagai pembagian pekerjaan.
Di Sulawesi Selatan atau tepatnya daerah Suku Bugis, masyarakat tidak mengenal gender hanya terbagi menjadi dua sisi, yakni laki-laki dan perempuan. Tetapi, ada lima gender yang dikenal dalam Suku Bugis. Mungkin aneh kedengarannya, tapi hal ini memang benar. Bahkan, hal ini sudah ada selama ribuan tahun lalu.
Berikut kovermagz telah merangkum tentang lima gender dalam Suku Bugis yang disadur dari berbagai sumber.
Orowane
Orawane adalah sebutan laki-laki dalam bahasa Bugis. Seperti pada laki-laki umumnya, Orawane memiliki sikap yang tegas serta maskulin. Apabila sudah berkeluarga, ia dianggap bertanggung jawab penuh untuk bekerja dan menafkahi keluarganya.
Makkunrai
Sebutan perempuan dalam bahasa Bugis adalah Makkunrai. Kedudukan perempuan sendiri sangat dihargai dalam suku Bugis. Apabila ingin menikahi seorang perempuan, laki-laki harus mengeluarkan uang panai’ atau mahar dengan nominal berdasarkan status sosial dari si perempuan.
Calabai
Calabai ini adalah sebutan bagi kaum yang terlahir sebagai laki-laki namun berperilaku seperti perempuan dalam kesehariannya. Gender ini mengambil peran gender perempuan, mengenakan gaun dan riasan dan memanjangkan rambut mereka.
Namun begitu, masyarakat suku Bugis tetap menganggap mereka sebagai laki-laki. Hanya berbeda sikap dan sifat yang dimiliki dari lelaki pada umumnya. Kaum Calabai juga tidak menganggap diri mereka sebagai perempuan.
Uniknya, Calabai dapat berperan sebagai ibu pengantin dalam prosesi ritual tradisional dalam mempersiapkan pesta pernikahan.
Calabai tidak menyamar sebagai perempuan, tetapi menunjukkan rangkaian perilaku feminin mereka sendiri yang akan disukai pada perempuan makkunrai, seperti mengenakan rok mini, merokok, dan bertindak dengan cara yang lebih seksual secara lahiriah.
Dalam masyarakat Bugis, orang calabai dan calalai mungkin tidak disetujui di beberapa tempat, tetapi mereka ditoleransi secara luas, bahkan dianggap memainkan peran penting dalam masyarakat, dan umumnya tidak diserang atau dianiaya oleh komunitas mereka sendiri.
Calalai
Kebalikan dari Calabai, Calalai ialah sebutan bagi kaum perempuan yang berperilaku seperti laki-laki dalam kesehariannya. Namun begitu, masyarakat suku Bugis tetap menganggap mereka sebagai perempuan. Hanya berbeda sikap dan sifat yang dimiliki dari perempuan pada umumnya. Kaum Calalai pun juga tidak menganggap diri mereka sebagai laki-laki.
Bissu
Gender Bissu merupakan perpaduan dari semua gender yang ada di suku Bugis. Sifat maskulin serta feminin ada pada gender Bissu. Selain itu, gender ini pun tidak tertarik dengan laki-laki atau perempuan.
Mereka berpegang teguh pada filosofi masyarakat Bugis kuno yang mengatakan, “Manusia sempurna adalah manusia yang memiliki unsur keperempuanan dan kelaki-lakian secara seimbang dan adil.”
Gender Bissu dianggap oleh masyarakat Bugis sebagai orang suci atau spiritual dan memiliki kedudukan tinggi dan juga penting.
Bissu, seperti calabai dan calalai, menampilkan jati diri mereka melalui pakaian: mereka sering memakai bunga, simbol yang secara tradisional feminin, tetapi membawa keris yang diasosiasikan dengan laki-laki.
Banyak bissu terlahir sebagai interseks, tetapi istilah tersebut memiliki implikasi di luar biologi.
Walaupun gender Bugis sering digambarkan sebagai spektrum, Bissu dianggap makhluk spiritual yang tidak berada di tengah-tengah antara laki-laki dan perempuan, melainkan mewujudkan kekuatan keduanya sekaligus.