Di Indonesia, lembaga yang berwenang menetapkan kode rating sebuha film, baik itu film lokal maupun film asing yang diedarkan resmi ke Indonesia adalah Lembaga Sensor Film (LSF). Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia memberikan penilaian rating film berdasarkan standar budaya yang berlaku di Indonesia yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2014. Lembaga Sensor Film sebenarnya telah berdiri pada tahun 1916, menjadikannya salah satu lembaga tertua di Indonesia. Ada baiknya, kita pelajari sejarah ringkasnya.
Sejarah Sensor Film di Indonesia
Dilansir dari website resmi LSF, diceritakan bahwa peraturan sensor film mulai dirasakan ketika film sudah mulai diputar di bioskop tahun 1900. Ada berbagai konten yang dianggap tidak layak disaksikan oleh penonton kaum pribumi, yang dikhawatirkan merugikan pemerintahan kolonial Belanda.
Tahun 1916 Pemerintah kolonial Belanda membentuk suatu lembaga yang mengatur tentang film dan cara penyelenggaraan usaha bioskop atau ”gambar idoep”. Lembaga tersebut bernama Commissie voor de Kuering van Films atau Komisi Pemeriksa Film (KPF).
Lambat laun disadari bahwa aturan perfilman yang dibuat dan diterapkan secara longgar oleh pemerintah kolonial telah mengakibatkan banyak orang yang menganggap bioskop telah membawa pengaruh buruk bagi rakyat pribumi, termasuk menjatuhkan wibawa orang Eropa di masyarakat.
Banyak perubahan aturan dan undang-undang selama KPF bertugas, hingga tahun 1942 Belanda bertekuk lutut pada Jepang dan Jepang menghentikan KPF dan menggantinya dengan Sendenbu Eiga Haikyusha (Peredaran Film), bisa ditebak, film-film yang beredar haruslah sesuai dengan propaganda Jepang.
Setelah kemerdekaan tahun 1948, ada dua lembaga perfilman yang dibentuk, yakni Panitia Pengawas Film (PPF) di bawah Directeur van Binnenlandsche Bestuur dan Dewan Pertahanan Nasional membentuk Badan Pemeriksaan Film yang diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Menteri Penerangan RI. Tahun 1951 PPF dipindah menjadi berada di bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K).
Pada tahun 1964 urusan film seluruhnya dialihkan dari Kementerian PP dan K kepada Kementerian Penerangan, dimana BSF tetap bertugas menitik beratkan pada upaya menghindarkan masyarakat dari pengaruh buruk film, dan memperjelas eksistensi dan fungsi film untuk turut memantapkan program nation and character building.
Pada tanggal 30 Maret 1992 ditetapkanlah Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu.
Kewenangan Lembaga Sensor Film
Sebagai respon atas dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada tahun 2009 pemerintah memperbarui Undang-undang Perfilman dengan melahirkan Undang-undang No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman yang sampai saat ini menjadi landasan kerja LSF.
Pada tahun 2014, Presiden RI kala itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merombak kedudukan Lembaga Sensor Film dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014, dimana pada pasal 8 diatur kewenangan LSF:
a.penentuan penggolongan usia penonton;
b.pengembalian film dan iklan film yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria penyensoran untuk diperbaiki oleh pemillik film dan iklan film;
c.penyensoran ulang (re-censor) film dan iklan film yang sudah diperbaiki oleh pemilik film dan iklan film sesuai pedoman dan kriteria penyensoran;
d.pemberian surat tanda lulus sensor yang dibubuhkan untuk setiap kopi-jadi film dan iklan film yang dinyatakan telah lulus sensor;
e.pembatalan surat tanda lulus sensor;
f.pengusulan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perfilman; dan
g.pelaporan kegiatan sensor film dan iklan film baik yang lulus dan yang tidak lulus sensor kepada Presiden melalui Menteri secara periodik.
Mekanisme sensor film
Dalam penjelasan yang diberikan oleh Drs. Dody Budiatman, Wakil Ketua Lembaga Sensor Film, dalam melakukan penyensoran LSF harus memiliki pandangan bahwa film merupakan sebuah narasi audio-visual yang tidak bisa dipilah menjadi satu bagian terpisah. Film memiliki makna yang bisa diidentifikasi dalam sebuah narasi dari awal sampai akhir. Oleh karena itu Lembaga Sensor Film di mulai tahun 2009 tidak lagi boleh memotong film dengan sendirinya. Akan tetapi film yang masuk ke LSF akan diteliti dan dinilai kelayakannya maka film tersebut baru dapat dinyatakan lulus atau tidak lulus. Film yang dinyatakan tidak lulus sensor dikembalikan kepada pemilik untuk direvisi, setelah itu dikembalikan lagi ke LSF untuk disensor ulang.
Dalam prosesnya, LSF akan menerima sebuah pendaftaran yang dilakukan oleh pihak pembuat film. Kemudian pihak pembuat film akan memberikan permintaan kategori film yang dibuatnya. Langkah berikutnya adalah film yang telah didaftarkan akan dibawa ke sebuah ruangan sensor dan akan diteliti oleh kurang lebih sebanyak enam (6) komisi. Keenam komisi ini memiliki tugasnya masing-masing yakni;
- Bidang penyensoran
- Bidang evaluasi dan hukum
- Bidang hubungan antar lembaga
- Bidang Dialog
- Bidang Sosialisasi kebijakan
- Bidang Pemantauan
Selama proses penyensoran film, ketua dan wakil ketua komisi LSF pun juga diharuskan untuk turut hadir selama proses penyensoran berjalan. Lembaga ini juga tidak hanya bertugas untuk melakukan sensor terhadap film saja, namun juga memberikan penyensoran terhadap tayangan iklan, video clip musik, dan acara-acara tayangan seperti talkshow yang biasa ditayangkan oleh televisi swasta.
Klasifikasi film (rating) di Indonesia
A/SU (Anak-anak/Semua Umur)
Film dengan klasifikasi ini tak mengandung unsur kekerasan, adegan tidak sopan atau perilaku yang membahayakan anak-anak, dan tidak mengandung adegan yang menimbulkan gangguan pada perkembangan jiwa anak. Rating ini hampir sama dengan G-Rated dari klasifikasi MPAA. Film dengan kategori A, berarti film itu lebih diperuntukkan penonton anak-anak dengan usia 4-7 tahun.
BO-A (Bimbingan Orangtua dan Anak-anak)
Hampir sama dengan rating A, film dengan rating BO-A adalah tayangan yang masih aman ditonton oleh anak-anak, namun lebih baik jika mendapat pendampingan orang tua.
BO (Bimbingan Orangtua)
Film dengan kategori BO, artinya tayangan tersebut diperlukan pengawasan orang tua untuk anak-anak usia dibawah 13 tahun.
R (Remaja)
Film dengan rating R, artinya tayangan tersebut aman ditonton hingga usia 13-16 tahun. Film dan iklan film digolongkan untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih apabila memenuhi kriteria seperti mengandung nilai pendidikan, budi pekerti, dan berisi tema, judul, adegan visual serta dialognya tidak menampilkan adegan berbahaya dan pergaulan bebas lawan jenis.
D (Dewasa)
Kategori dewasa pun masih dibagi lagi menjadi dua kategori yakni; kategori 17+ dan kategori 21+.
Film yang digolongkan untuk penonton usia 17 tahun keatas, jika tayangan yang mana tema, judul dan adegan visual serta dialog berkaitan dengan seksualitas yang disajikan secara proporsional dan edukatif. Selain itu juga menyajikan kekerasan secara proporsional dan tidak menampilkan sadisme.
Sedangkan untuk kategori 21+ jika judul, tema, adegan visual, serta dialog merupakan sesuatu yang ditujukan untuk orang dewasa seperti tema dan permasalahan keluarga. Jika tayangan termasuk produk televisi, maka harus ditayangkan setelah pukul 23.00 sampai dengan pukul 03.00. Jika produk film, maka hanya ditayangkan di gedung bioskop.(tin/rst)