Lilysan Wijaya : Seimbangkan Bisnis dengan Edukasi

Mahir berdagang sedari kecil, menjadikannya pribadi yang cermat. Ia membuktikan pentingnya menjadi individu profesional tanpa melihat identitas gender. Berhasil memimpin sejumlah perusahaan tak membuatnya lupa diri. Yayasan Berani Bermimpi adalah wujud partisipasinya terhadap dunia pendidikan.

Bermula dari kegemaran Lilysan Wijaya mengkreasikan sesuatu sejak sekolah dasar, perempuan yang akrab disapa Lily ini tertarik dengan dunia bisnis yang diperkenalkan oleh sang ayah. Gantungan kunci menjadi hasil karya pertama yang diperjualbelikan kepada teman-temannya. 

Seiring berjalannya waktu, Lily pun terjun menjadi pengusaha dengan mendirikan bisnis pertamanya sebagai penyedia jasa wedding planner pada tahun 2007. Baginya, sebuah pernikahan harus disesuaikan dengan karakter pengantin dan dikonsep semenarik mungkin. Mengabadikan momen melalui bidik kamera juga mendapat perhatian khusus, karena menurutnya sebuah foto harus bisa merepresentasikan hubungan dari kedua pasangan.

“Karena saat saya merancang wedding saya sendiri, saya juga memasukkan karakter saya, memberikan ide-ide saya dan keinginan saya. Tujuannya membawa sesuatu yang Medan belum ada. Foto juga jangan kaku, fokus dengan chemistry dari klien tersebut,” ucapnya.

Entrepreneur Sejati

 

Selang setahun, tepatnya pada 2008, Lily merintis Brides on 22 yang kini berdomisili di Komplek Multatuli Indah Blok BB. Tak berhenti sampai di situ, Lily kembali mencoba peruntungan di tahun 2014 dengan meluncurkan bisnis catering sehat, Lesssaltdiet, yang sekarang sudah ‘go nasional’ ke Jakarta dan Surabaya.

Lily kembali membawa gebrakan baru dengan membuka peluang usaha karangan bunga bernama Bloomartinis di tahun 2016. Seluruh lini bisnis milik Lily dibangun dengan kerja keras dan keuletan. Tak lupa inovasi dan konsistensi juga menjadi perhatiannya dalam mempertahankan perusahaan agar tetap berjalan.

“Saya juga tidak boleh berhenti belajar dan harus tetap sigap, apa saja perubahan-perubahan dan tren terkini. Di saat kita lengah, bisnis bisa drop, karena tren berevolusi cepat, bahkan 20 kali lebih cepat. Jadi harus diikuti terus,” pungkasnya.

Oktober 2017, Lily bersama rekan-rekan lainnya sepakat mendirikan Womandiri, sebuah wadah bagi kaum wanita dari berbagai latar belakang untuk mengembangkan potensi dan berpartisipasi dalam pembangunan melalui program-program kesehatan, psikologi, karir, bisnis, pendidikan, parenting dan keuangan.

Pendiri Yayasan Berani Bermimpi

 

Kepiawaian Lily meraup pundi-pundi dari beberapa bisnis miliknya, ternyata tak membuatnya merasa utuh. Seolah-olah ada yang kurang dari hidupnya, ia pun mengevaluasi kembali tujuan hidupnya. 

“Waktu itu umur sudah 35 tahun, bingung nih, selama ini tujuan utama hidup ya bisnis, tetapi kok saya merasa ada yang kurang. Hidup cuma cari duit terus buat apa? Akhirnya saya mencari jati diri yang baru lagi. Cita-cita jadi entrepreneur sudah tercapai, terus apalagi ya?” ucap wanita yang hobi dansa ini.

Kebetulan Lily berkesempatan mengunjungi Sumba dalam waktu seminggu untuk mengedukasi anak-anak yang kesulitan akses pendidikan. Dari sana tercetuslah ide untuk mendirikan Yayasan Berani Bermimpi pada Januari 2018.

Yayasan Berani Bermimpi merupakan organisasi nirlaba yang fokus memberikan pelatihan keahlian kepada anak di usia produktif lewat berbagai program menarik dengan tujuan untuk menciptakan kemandirian dalam upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera.

Tekadnya mendirikan yayasan sendiri juga lantaran sulitnya menemukan organisasi sosial yang sesuai dengan visi dan misinya memberikan edukasi berupa skill sebagai modal untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. 

Menurut Lily, dengan bekal edukasi yang mumpuni, kapasitas seseorang akan bertambah sehingga bisa menciptakan kualitas hidup yang lebih baik. Sayangnya beberapa orang tidak memiliki kesempatan untuk bisa berkembang yang menyebabkan hidupnya menjadi kurang beruntung. 

Hal tersebut menjadi perhatian Lily. Walaupun berasal dari keluarga yang berkecukupan, Lily merasa perlu berbuat banyak untuk orang-orang di sekitarnya. “Melihat orang yang kurang mampu, saya yakin mereka bisa berhasil. Tetapi mereka tidak mengerti kalau mereka bisa jadi ‘lebih’. Semuanya berawal dari mimpi. Dikasi kesempatan pun, kalau tidak ada mimpi, enggak akan kemana-mana,” ceritanya dibalik filosofi Berani Bermimpi.

Berikan Pelatihan 100 Anak

Melalui Yayasan Berani Bermimpi, Lily menyajikan edukasi di bidang creative industri berupa pelatihan vokal, fotografi, menulis kreatif, public speaking, make up dan english class. Dalam kurun waktu setahun, perkembangan para murid pun semakin terlihat dengan bertambahnya kepercayaan diri dan motivasi untuk terus maju. Namun perlahan ia sadar ada yang keliru dalam programnya.

“Menurut saya agak kurang efektif karena tidak bisa apply di lapangan kerja. Dari awal goal saya agar mereka bisa mandiri mendapat penghasilan. Akhirnya awal tahun 2019 saya ubah, pelatihannya dalam bentuk hospitality seperti pelatihan cooking, pastry dan barista,” ungkapnya.

Dari 100 murid yang mendapat pelatihan secara cuma-cuma, sembilan orang sudah mendapat beasiswa, empat orang telah mencicipi dunia kerja, selebihnya masih dalam seleksi bertahap. 

Saat ini Yayasan Berani Bermimpi bekerja sama dengan SOS Children’s Villages Indonesia cabang Medan. Dari organisasi nonprofit inilah, murid-murid Yayasan Berani Bermimpi berasal. Bukan memberikan bantuan sandang dan pangan secara langsung, Lily mengusung konsep ‘memberi pancing daripada memberi ikan’ untuk keberlangsungan hidup yang lebih terjamin.

Berbagai kegiatan sudah diselenggarakan Yayasan Berani Bermimpi, salah satunya penggalangan dana dalam bentuk konser amal yang diadakan di JW Marriott Hotel. Kegiatan ini melibatkan puluhan anak Yayasan Berani Bermimpi yang memberikan penampilan drama musikal dan unjuk gigi lewat kreasi minuman dan makanan yang bisa dibeli dan dinikmati oleh para pengunjung.

Selain hard skill, Yayasan Berani Bermimpi juga menyediakan soft skill yang tak kalah penting bagi tumbuh kembang usia produktif yakni kecerdasan emosional. Dengan begitu setiap murid akan terus termotivasi untuk tetap bermimpi dan mewujudkan mimpi tersebut. 

“Di Yayasan Berani Bermimpi ada namanya edukasi hati yaitu one on one counseling, bicara dari hati ke hati. Kami ajak ketemu, meeting berkala, konsisten ‘nanyain’ semangatnya bagaimana, masalahnya dimana, komitmen untuk terus pantau mereka,” ucap wanita kelahiran Tebing Tinggi, 15 Januari 1981 ini.

Tepis Marginalisasi Perempuan

 

Menanggapi isu kesetaraan gender yang kerap terjadi di dunia kerja, Lily tak ambil pusing. Ia fokus menjadi individu profesional tanpa harus membedakan peran pria dan wanita. Baginya, kemampuan dan kapasitaslah yang menentukan seseorang layak atau tidak menjadi pemimpin, bukan gender.

Saya enggak pernah menganggap saya berbeda dengan laki-laki dan saya enggak pernah merasa perempuan berada di bawah laki-laki. Saya tidak melihat diri saya sebagai pebisnis wanita atau wanita karir. Saya hanya orang yang memiliki wirausaha atau pebisnis profesional. Saya enggak peduli saya ini cewek atau cowok,” tuturnya sembari tersenyum.

Berkat kecakapannya mengelola perusahaan, tak heran Lily kerap memimpin setiap rapat di kantornya. Ia juga selalu memperlakukan karyawannya dengan baik, karena menurutnya keberhasilan suatu perusahaan dilihat dari kinerja para stafnya. Baginya, ide selalu ada namun jika tak ada kekuatan tim yang bisa mengeksekusi ide tersebut maka hasilnya tak akan maksimal.

“Sampai sekarang saya masih terus belajar menjadi leader yang positif dan tetap bisa mencapai tujuan target. Kekuatan staf itu penting sekali, ide enggak bisa diterapkan tanpa tim. Kebetulan saya tipe yang suka mendelegasikan, jadi bukan saya yang melakukan, tetapi anggota saya yang melanjutkan supaya mereka ikut berkembang. Saya pengin mereka lebih bagus dari sebelumnya, bukan hanya untuk bisnis saya,” tuturnya.

Perempuan dengan latar belakang Hospitality Management lulusan universitas di Melbourne, Australia ini juga berpesan kepada para wanita muda agar tidak membiarkan orang lain memperlakukan diri secara tidak adil. 

“Mungkin memang ada ketidakadilan atau diskriminasi gender, tetapi apakah itu bisa mempengaruhi pandangan kita, ya tergantung kita sendiri. Saya tidak pernah merasa karena saya perempuan, mereka enggak mau mendengarkan saya. Yang penting kita sudah buktikan kemampuan dan kapasitas kita, jangan ‘masalahin’ gender,” tutur wanita yang pernah menjadi dosen ini.

Lily juga sempat bercerita tentang pengalamannya sebagai volunteer, mengajar di satu kawasan terpencil di Sumba. Kuatnya tradisi Belis yang seakan ‘menjual’ anak perempuan dalam keluarga dengan maskawin sejumlah hewan ternak, menyebabkan banyak anak perempuan yang tidak bersekolah. Uniknya, pada suatu kesempatan, ia bertemu dengan seorang gadis Sumba yang ternyata punya pemikiran mencengangkan.

“Namanya Apri, ibu kandungnya sudah meninggal, papanya kawin lagi, punya anak lagi. Nah saudara tirinya ini diutamakan sekolahnya, sedangkan Apri tidak dikasi sekolah, tetapi dia ‘ngotot’ pengin sekolah. Saya tanya, ‘Kamu merasa ditidakadili enggak?’ Di luar ekspektasi saya dia jawab, ‘Kalau saya benar-benar enggak mau kawin, dia bisa gimana? Kalau saya mau sekolah, dia bisa gimana? Saya rasa itu tergantung saya sendiri, bukan tergantung mau mereka gimana.’ Ucapan itu datang dari seorang murid yang tidak berpendidikan tinggi. Bayangkan, orang seperti dia saja bisa speak up,” ungkapnya.

Banyak peristiwa-peristiwa ajaib yang dialami Lily yang akhirnya memberikan inspirasi. Menurutnya, inspirasi bukan hanya bersumber dari orang-orang sukses nan terkenal, justru dari orang-orang sekitar dengan keterbatasan yang mereka miliki.

Penulis: Indriyana Octavia

Fotografer: Vicky Siregar

 

Baca Juga:  Bikin Bangga! Reog Ponorogo Resmi Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO