Penulis: Indriyana Octavia
Fotografer: Vicky Siregar
Bertajuk “Selamatkan Rimba Terakhir Batang Toru”, perbincangan kali ini membahas tentang ancaman yang dialami populasi Orangutan Tapanuli yang mendiami ekosistem Batang Toru lantaran kehadiran pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). KoverTalk diselenggarakan pada Sabtu, (09/03) mengambil lokasi di SIA Karaoke & Bar, Jalan Iskandar Muda No. 133/24J Medan.
Adapun narasumber diskusi tersebut yakni Dana Prima Tarigan, S.Sos. selaku Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara, Panut Hadisiswoyo sebagai Pendiri dan Direktur Lembaga Konservasi Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (Orangutan Information Centre), dan Boydo H.K. Panjaitan selaku CEO Kover Magazine.
Seperti yang diketahui, WALHI telah menggugat SK Gubernur Sumatera Utara atas perizinan pembangunan PLTA Batang Toru ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan pada 2018 lalu. Namun majelis hakim PTUN menolak gugatan tersebut walaupun sudah disertai bukti-bukti dan keterangan para saksi. Tak putus asa, WALHI akan mengajukan banding dalam waktu dekat.
Seluas 150.000 hektar ekosistem Batang Toru terletak di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah yang terdiri dari 85% hutan primer berstatus hutan Lindung dan 15% yang berstatus Areal Penggunaan Lain (APL). Hutan yang berstatus APL menjadi sasaran industri untuk membangun pertambangan emas, perkebunan sawit hingga PLTA.
Kehadiran PLTA memberikan dampak negatif bukan hanya pada ekosistem Batang Toru namun juga populasi Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) yang hanya berjumlah sekitar 800 individu, tersebar di tiga kawasan Batang Toru yakni Blok Barat, Blok Timur dan Cagar Alam Sibual-buali. Tak hanya orangutan, beberapa flora dan fauna langka juga banyak mendiami ekosistem Batang Toru, sebut saja harimau sumatera, beruang madu, tapir, kambing hutan, burung enggang gading, burung kuau, bunga bangkai, dan raflesia.
“Keberadaan PLTA merupakan yang paling mengancam karena mengisolasi dan memotong koridor Blok Barat dan Blok Timur yang malah memungkinkan Orangutan Tapanuli kawin satu marga sehingga mereka tidak produktif lagi. WALHI mendukung energi baru terbarukan, tetapi membangun dengan cara kotor —18 jam membendung air, 6 jam melepas air, membuat banjir dan kering— bukan sesuatu yang bisa dipertahankan,” ucap Dana.
Boydo Panjaitan juga mengungkapkan bahwa kepunahan ekosistem Batang Toru bisa men-trigger aktivitas gempa hingga 7 skala richter yang sangat berakibat fatal pada kehidupan masyarakat sekitar.
“Sampah pun sebenarnya bisa diolah jadi listrik, kita enggak krisis listrik kok, enggak perlu menerobos lahan-lahan yang memang berguna, kecuali ada lahan memungkinkan ya silakan. Mana yang lebih besar, manfaat atau mudaratnya,” tegas Boydo.
PLTA Batang Toru akan dibangun oleh PT North Sumatera Hydo Energy (PT NSHE) berkapasitas 510 MW ini bukan hanya menyebabkan kepunahan keanekaragaman hayati, namun juga berdampak pada ekologi sungai karena bendungan yang dibentuk akan menyimpan air selama 18 jam yang mengakibatkan kekeringan serta melepaskan air selama 6 jam yang menimbulkan banjir pada hilir sungai Batang Toru.
Tak hanya itu, kehidupan masyarakat yang tinggal di hilir juga akan terganggu, terutama di bidang perikanan dan penggarapan sawah sebagai mata pencaharian, bahkan transportasi sungai juga akan terhambat. Pencemaran pun tak bisa dihindari sebab bendungan akan memancarkan gas rumah kaca yang mengandung zat berbahaya. Keberadaan bendungan juga disinyalir dapat memicu gempa berkekuatan besar.
“Bencana akan terjadi jika kita berpikir itu urusan orang lain. Seharusnya kita sepakat untuk menyelamatkan bumi dimana kita berpijak. Harus bersuara, berani mengambil sikap, menyatakan pendapat bahwa apa yang kita lihat sebagai proses kehancuran harus dilawan. Saya menyarankan ke pemerintah agar mempertimbangkan eksploitasi hutan karena hutan yang tersisa adalah harapan terakhir untuk perlindungan dan kesinambungan. Kalau kita masih mengurangi hutan berarti kita memilih memusnahkan habitat spesies di masa yang akan datang,” jelas Panut.
Dana juga menambahkan bahwasanya Peraturan Menteri Kehutanan (PERMENHUT) memungkinkan korporasi untuk membuka usaha di hutan namun jika izin lokasi dan izin lingkungan ditolak maka tidak bisa beroperasi. “Pemerintah daerah sebaiknya juga adil melihat, daerah mana yang seharusnya tidak boleh mengeluarkan izin dan bisa dikoordinasikan ke pusat. Mulailah melihat hutan sebagai sumber kehidupan bukan bisnis,” ucapnya.
Pembangunan PLTA Batang Toru untuk menambah daya listrik di Sumatera Utara dianggap bukanlah alternatif terbaik. Proyek bernilai 23 triliun dari pendanaan Bank of China ini dinyatakan sebagai investasi yang merugi lantaran banyak memicu bencana. Bukan berarti ini merupakan sikap anti terhadap energi baru terbarukan namun potensi gheotermal yang berasal dari panas bumi bisa dimaksimalkan hingga 1000 MW serta tidak terlalu riskan.
Orangutan menjadi satwa yang secara genetika sangat menyerupai manusia hampir 90% berdasarkan taksonomi. Hal tersebut seharusnya menjadi pendorong manusia untuk menyelamatkan orangutan dari konversi lahan hutan tempat tinggal mereka yang beralih fungsi menjadi perkebunan, pertambangan, dan pembangunan industri lainnya.
Sama seperti manusia, orangutan sangat suka hidup di dataran rendah karena sumber pakan yang tersedia sangat memadai. Tentu ini menimbulkan kompetisi yang tak dapat dielakkan yang disebabkan oleh aktivitas manusia, sehingga orangutan akan naik ke dataran tinggi untuk menyesuaikan diri. Sayangnya, dataran tinggi tidak punya banyak sumber nutrisi makanan mumpuni. Jika kesuburan orangutan berkurang maka bisa dipastikan akan mengalami proses kepunahan.
Menyelamatkan lingkungan perlu komitmen dan rangkulan khalayak ramai, bukan hanya komunitas atau lembaga tertentu saja. Melalui KoverTalk ini diharapkan masyarakat luas akan semakin sadar dan peduli dengan polemik ini. Pemerintah juga diharapkan dapat mengambil tindakan nyata untuk melindungi ekosistem Batang Toru dengan membuat peraturan baru atau menghentikan proses pembangunan PLTA Batang Toru sehingga ancaman buruk terhadap masyarakat sekitar dan Orangutan Tapanuli bisa dihindari.
“Perjuangan ini tidak ada artinya jika teman-teman tidak bantu. Gunakan hashtag Save Batang Toru, Stop PLTA Batang Toru. Penyelamatan lingkungan adalah harus dan mutlak dilaksanakan. Jika hutan hilang, kehidupan binasa. Mari selamatkan lingkungan, ekosistem Batang Toru, rimba terakhir, Orangutan Tapanuli,” tutup Dana mengakhiri.
“Kita harus bekerja sama dengan pemerintah karena di dalamnya ada unsur pemerintah. Kita sebagai anggota masyarakat harus peduli dengan mendorong segala bentuk tindakan untuk mengurangi ancaman tersebut,” tambah Panut.
Boydo H.K. Panjaitan justru menyampaikan ungkapan terima kasihnya kepada siapa saja yang telah concern terhadap topik penyelamatan orangutan.
“Mudah-mudahan semakin banyak yang menyuarakan ini. Jangan beranggapan ini pekerjaan yang sia-sia. Dari hal kecil, tidak akan ada hal besar terjadi. Saya bisa melihat bahwa yang betul-betul kita lakukan adalah Save Batang Toru. Dengan demikian ada banyak hal yang bisa terjadi,” imbuhnya.
“Mudah-mudahan semakin banyak yang menyuarakan ini. Jangan beranggapan ini pekerjaan yang sia-sia. Dari hal kecil, tidak akan ada hal besar terjadi. Saya bisa melihat bahwa yang betul-betul kita lakukan adalah Save Batang Toru. Dengan demikian ada banyak hal yang bisa terjadi,” imbuhnya.
“Mudah-mudahan semakin banyak yang menyuarakan ini. Jangan beranggapan ini pekerjaan yang sia-sia. Dari hal kecil, tidak akan ada hal besar terjadi. Saya bisa melihat bahwa yang betul-betul kita lakukan adalah Save Batang Toru. Dengan demikian ada banyak hal yang bisa terjadi,” imbuhnya.
Dengan diselenggarakannya acara ini, Kover sebagai media cetak di kota Medan juga berharap bisa menjadi sarana aspirasi yang memfaktakan regulasi dan memberikan manfaat kepada banyak kalangan. Kover juga mendukung segala kegiatan yang berguna untuk menjaga, melestarikan, dan menyelamatkan lingkungan sumber kehidupan.