
Baru saja gelombang strain delta dari virus Sars Cov-2 mereda di berbagai pelosok di Indonesia. Memakan waktu tiga bulanan, pemerintah sempat memaksakan langkah-langkah lebih agresif untuk menghindari penyebaran yang lebih parah lagi, dengan aturan-aturan PPKM yang cukup rumit namun dibutuhkan. Rumah-rumah sakit yang sempat overloaded dengan pasien-pasien Covid-19 kini telah sepi, absolutely a great news.
By now, kita pasti sudah mengenal gejala-gejala Covid-19, baik karena pengalaman pribadi, maupun orang-orang di sekitar kita. Namun, tidak banyak pemahaman masyarakat mengenai efek penyakit tersebut terhadap kerja saraf dan otak penderita. Padahal, keluhan “brain fog” atau kabut otak terus meningkat.
Hubungan antara COVID-19 dengan gejala gangguan mental ini sebenarnya cukup kompleks. Tidak hanya terbatas pada gangguan jiwa pascatrauma (PTSD) yang dialami pasien-pasien Covid-19, dengan gejala-gejala seperti kecemasan, insomnia, depresi, namun para ahli menduga gejala-gejala psikis yang ada berkaitan dengan masalah kesehatan mental yang lebih tinggi.
Tidak bisa disepelekan, belum lama ini sebuah hasil studi yang dipublikasi di jurnal Lancet Psychiatry, menganalisis catatan kesehatan 236.379 pasien covid-19, yang mayoritas berasal dari Amerika Serikat, dan menemukan 34% di antaranya terdiagnosis penyakit kejiwaan atau saraf dalam waktu enam bulan. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi juga menyebabkan gelombang gangguan mental dan saraf, fakta yang mungkin terabaikan.
Hasil penelitian-penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa virus Sars-CoV-2 memberikan dampak pada otak dengan dua cara.
- Pertama, menginfeksi otak secara langsung (ensefalitis virus),
- kedua, dengan memicu respons imun tubuh secara abnormal sehingga malah mengakibatkan peradangan di otak.

Tahap 1: Kerusakan Terbatas dan Sementara
Pada tahap ini, pasien COVID-19 sering mengeluhkan ingatan yang pendek, bengong, bingung, kesulitan untuk fokus, dan mengalami disorientasi, yang belakangan ini sering diberi gelar “brain fog”. Sebenarnya, nama ilmiah kondisi tersebut adalah delirium atau ensefalopati. Untungnya, pada mayoritas kasus COVID-19, gangguan saraf otak ini terjadi hanya sebentar dan pulih dengan sendirinya.
Tahap 2: Peradangan
Masuknya virus ke tubuh mengaktifkan respons imun yang kuat. Akibatnya, terjadi peradangan pada pembuluh darah berujung pada pengentalan / penggumpalan darah di arteri dan vena otak. Selain itu pada tahap ini virus memicu badai sitokin yang dimulai pada paru-paru lalu ke pembuluh darah seluruh organ tubuh, termasuk ke otak. Badai sitokin ini bisa berujung pada penggumpalan darah yang mengakibatkan stroke, gejala-gejalanya antara lain: kelelahan, kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh, gangguan fungsi bicara, dan sebagainya. Pasien dengan penyakit jantung atau pun tekanan darah tinggi beresiko sangat tinggi untuk mengalami masalah pembekuan darah yang mengakibatkan stroke.
Tahap 3: Kerusakan Otak
Ledakan badai sitokin merusak duramater, lapisan pelindung yang memisahkan jaringan otak dengan darah. Akibatnya sitokin, komponen darah dan partikel virus masuk ke parenkim otak dan mengakibatkan kematian sel neuron (saraf) dan terjadi radang otak. Tahap ini sudah serius, dan ditandai dengan kejang, delirium yang serius, koma, kehilangan kesadaran atau kematian.
Oleh karena itu, sekalipun gejala-gejala klinis di tubuh pasien Covid-19 telah pulih dan siap untuk dipulangkan, pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit idealnya harus diberikan prosedur MRI, dan harus memiliki evaluasi neurologis sebelum meninggalkan rumah sakit. Dan jika ada kelainan, mereka harus menindaklanjuti dengan ahli saraf dalam 3-4 bulan.
Jika Anda adalah penyintas COVID-19 dan sedang mengalami gejala penggumpalan darah atau stroke seperti rasa sakit kemerahan, pembengkakan, linglung, pusing, kebas, langsung segera periksakan diri ke dokter spesialis saraf.