Siapa yang tak tahu serial komik Tintin? Hampir semua orang pernah menyaksikan kisah legendaris Tintin bersama Milo anjingnya, dalam mengarungi dunia. Sama seperti kebanyakan orang, sejak kecil Saur Marlina Manurung pun sudah menyukai beragam cerita petualangan.
Tak hanya Tintin, ia juga suka Indiana Jones dan cerita petualangan lainnya. Bagi perempuan berdarah Batak tersebut, berpetualang adalah hobinya. Sebelum bergelut dengan Sokola Rimba, master bidang Antropologi ini juga sempat bekerja di Warung Informasi Konservasi (WARSI), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berkonsentrasi pada isu konservasi hutan.
Sekarang, perempuan kelahiran Jakarta 47 tahun lalu tersebut lebih dikenal masyarakat sebagai Butet Manurung sang perintis Sokola Rimba, sebuah program pendidikan di Hutan Makekal Hulu, Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi. Sokola Rimba menjadi cahaya bagi Orang Rimba dan Butet menjadi pelita karena pendidikan formal hampir tak pernah menyentuh suku tersebut.
Kover Magazine berkesempatan berbincang langsung dengan Butet pada Festival Literasi Danau Toba beberapa waktu lalu. Butet bercerita tentang aktivitasnya saat ini termasuk bagaimana awal mula merintis Sokola Rimba. Dahulu Orang Rimba tak bisa baca tulis sama sekali namun kini mereka mulai mengerti dan bisa berpikir kritis.
Meski sempat merasa kesulitan karena Orang Rimba berkeras menolak baca tulis namun ada satu pengalaman tak terlupakan yang terus membangkitkan semangatnya. Butet menyaksikan langsung bagaimana seorang anak Rimba mampu membatalkan surat perjanjian batas tanah karena kemampuan si anak membaca isi perjanjian. Kejadian itu tak hanya membekas dan berkesan baginya namun juga menjadi titik tolak perjalanannya merintis Sokola Rimba.
“Waktu itu aku melihat sendiri satu anak membatalkan surat perjanjian batas tanah gara-gara dia bisa baca. Itu jadi momen tak terlupakan, baik buat aku maupun Orang Rimba sendiri. Anak tersebut menginspirasi Orang Rimba lainnya. Sejak saat itu aku diminta mengajar dimana-mana,” ceritanya.
Merintis pendidikan alternatif bagi komunitas adat bukan hal yang mudah. Penolakan terjadi akibat rasa takut berlebihan bahwa pendidikan akan mengubah adat istiadat mereka. Jika sekolah formal memiliki bangunan bertembok dan beratap, Sokola Rimba hanya berupa dangau kecil tidak berdinding dan selalu berpindah-pindah. Pendidikan yang diajarkan juga berbeda dengan kurikulum sekolah karena Orang Rimba hanya diajarkan pendidikan dasar berupa baca, tulis dan hitung. Pelajaran lain adalah tentang pengetahuan dunia luar, life skill, dan pengenalan organisasi.
Perlahan tapi pasti, satu persatu anak Rimba mulai bisa membaca. Sadar atau tidak, mereka menginspirasi Butet. Orang Rimba tak hanya melindungi namun juga memberinya banyak pelajaran berharga.
“Anak Rimba sangat ekspresif, kalau ada satu anak bisa baca, mereka kegirangan. Langsung bergoyang-goyang di tiang rumah atau teriak sekencang-kencangnya ke seluruh rimba. Mereka adalah guruku, bertaruh nyawa menyelamatkan nyawaku berkali-kali dari gigitan kobra bahkan dikejar beruang. Dalam banyak hal mereka mengajarkan arti hidup,” kenangnya.
Sekolah Tak Boleh Mengidealkan Kecerdasan Anak
Butet berhasil menanamkan keyakinan pada Orang Rimba bahwa pendidikan bisa melindungi mereka dari kejamnya dunia luar maupun pihak pengganggu yang ingin menjadikan hutan sebagai lahan bisnis. Anak Rimba yang sudah bersekolah diharapkan bisa menjadi mediator ketika bersinggungan dengan dunia luar sehingga tidak mudah dieksploitasi.
Butet tak memaksakan pendidikan bagi Orang Rimba serupa dengan anak-anak di daerah lain. Ketika ditanya pendapatnya seputar sekolah yang baik, Butet berharap tiap sekolah di Indonesia bisa mengenal anak didiknya bukan sebagai murid namun sebagai diri mereka sendiri. Tidak dibenarkan mengidealkan kepintaran karena siapa saja harusnya bisa bermanfaat bagi banyak orang. Anak tak boleh khawatir menjadi dirinya sendiri.
“Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanyalah mereka tak bisa mendengarkan kata hati masing-masing. Dengarkan apa kata hati, lakukan yang kita cintai dan setiap anak harus diberi kepercayaan dan kesempatan melakukannya. Sekolah harus menjadi tempat dimana anak bisa menjadi dirinya sendiri bukan menjadi pintar. Idealnya, anak pintar adalah dia yang menguasai semua mata pelajaran. Emang ada yang bisa menguasai semua? Itu sekolah buat Tuhan berarti,” tegasnya.
Pelopor Berdirinya Sekolah Bagi Suku Terasing
Kerja keras Butet membuahkan hasil dan dunia mengakui perjuangannya lewat berbagai penghargaan. Mulai dari Man and Biosphere Award dari LIPI, UNESCO Indonesia (2001), Woman of Letters’ as one of TIME magazine’s Heroes of Asia (2004) dan lainnya.
Tak hanya itu, perjuangan Butet juga sudah dibukukan dan difilmkan. Buku tersebut berjudul Sokola Rimba, Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba terbit Mei 2013. Sementara filmnya diangkat dengan judul Sokola Rimba yang dirilis pada 21 November 2013 dan disutradarai oleh sutradara kenamaan, Riri Riza.
Enam belas tahun sejak dirintis pada 2003, Sokola Rimba mulai menjangkau wilayah lain dan menjadi pelopor berdirinya sekolah untuk anak suku terasing. Daerah-daerah seperti Flores, Halmahera, Bulukumba, Pulau Besar dan Gunung Egon, Aceh, Yogyakarta, Makassar, Klanten, dan Bantul juga mulai mendapatkan pendidikan alternatif. Yayasan Sokola Rimba tidak hanya mengelola program di lapangan namun juga menyediakan training reguler bagi calon guru atau pihak yang ingin menerapkan pendidikan serupa. Sebuah modul pendidikan alternatif bagi suku terasing juga tengah dipersiapkan.
Modul dibuat berdasarkan pengalaman guru yang sudah 10 tahun di lapangan. Diharapkan modul bisa dipakai dan mudah digunakan siapa saja. Konsepnya dibuat berbeda karena setiap langkah yang disarankan, tertuang dalam bentuk cerita. Misalnya untuk memahami siklus hidup Orang Rimba yang ‘nomaden’ diceritakan lewat pengalaman Butet ketika hampir ditombak perempuan Rimba karena beranggapan suaminya akan diculik Butet.
Penyampaian lewat cerita diharapkan bisa memudahkan orang banyak. Saat ini banyak komunitas yang ingin melakukan hal serupa. Mendatangi kelompok terasing atau suku pedalaman dan mengajarkan banyak hal, tak hanya literasi namun juga teater, seni dan lainnya. Satu sisi Butet merasa senang namun di saat bersamaan pula ia begitu khawatir. Menurutnya banyak orang bertindak hanya dengan mengandalkan niat baik namun menggunakan cara yang salah.
Banyak komunitas hanya menggunakan satu pandangan ketika menentukan standar akan kebahagian hidup dengan kacamata kota, hingga timbul anggapan semua ingin menjadi seperti orang kota. Padahal tidak demikian dan Butet berharap dirinya bisa meluruskan hal tersebut.
“Ada komunitas datang ke satu pedalaman. Mereka membawa berpasang-pasang sepatu untuk diberikan kepada pemburu di suku tersebut dengan alasan kasihan. Mereka tidak paham kalau kaki si pemburu bahkan lebih kuat dari sepatu yang akan mereka berikan. Sepatu hanya akan melemahkan kaki pemburu. Jangan anggap suku pedalaman itu lemah atau bodoh. Niat baik saja tidak cukup untuk membangun bangsa. Lihat potensi dan kekuatan mereka, itulah senjata sebenarnya,” jelas Butet.
Masyarakat adat tentu memiliki aturan dan sistemnya sendiri. Perbedaan kurikulum dalam pendidikan bukan wujud mengkritik pemerintah. Pendekatannya memang panjang namun agar mereka happy dan nyaman, sistem harus disesuaikan dengan adat dan kearifan lokal.
Butet sendiri sudah tidak menjadi pengajar tetap di Sokola Rimba. Ia fokus pada proses pengawasan terutama ketika akan merintis sokola di wilayah baru. Tak lupa jika kegiatan sokola dilaksanakan, kedua anak dan suaminya akan turut serta. “Kalau bisa, anak dan suami kubawa karena niatnya sekaligus mengajarkan anak-anak perihal nilai baik yang kupertahankan. Aku bersyukur keluarga mendukung aktivitasku meski sesekali ada kecemburuan karena perhatianku terbagi,” cerita ibu dua anak ini.
Penulis: Imada Lubis
Fotografer: Vicky Siregar