
Kabar duka datang dari industri perfilman Tanah Air. Salah satu aktor senior Indonesia, Ray Sahetapy dikabarkan telah meninggal dunia. Kabar duka ini disampaikan langsung oleh putranya, Surya Sahetapy, melalui unggahan di akun Instagram pribadinya.
“Selamat jalan, Ayah! @raysahetapy. We always cherish the memories of our time with you. Titip salam cinta dan kangen ke kak Gisca, Dad!,” tulis Surya Sahetapy.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh mantan istrinya, Raden Adjeng Dewi Pudjijati atau yang lebih dikenal dengan nama Dewi Yuli. Penyanyi dan aktor itu mengunggah postingan di akun media sosialnya untuk menyampaikan kabar duka kepergian tersebut.
“Inna Lillahi Wa Inna Illaihi Roji’un telah berpulang Ayah dari anak2ku” tulisnya di akun Instagram dewiyullofficial.
Ray Sahetapy diketahui menghembuskan nafas terakhirnya tepat di usianya yang ke 68 tahun pada Selasa, 1 April 2025, pukul 21.04 WIB. Ray Sahetapy, yang dikenal luas berkat perannya dalam berbagai judul film dan teater, sebelumnya telah berjuang melawan penyakit stroke sejak pertengahan 2023. Meskipun sempat menunjukkan tanda-tanda pemulihan, kondisi kesehatannya kembali memburuk.
Kepergian Ray Sahetapy tentunya meninggalkan duka mendalam bagi industri perfilman Indonesia. Dedikasi dan kontribusinya dalam bidang seni peran akan selalu dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang.
Rekam Jejak Ray Sahetapy
Farence Raymond Sahetapy, yang lebih dikenal sebagai Ray Sahetapy, adalah seorang aktor senior Indonesia yang lahir pada 1 Januari 1957 di Donggala, Sulawesi Tengah. Masa kecilnya dihabiskan di Panti Asuhan Yatim Warga Indonesia di Surabaya. Sejak remaja, Ray bercita-cita menjadi aktor. Sebagai upaya mewujudkan mimpinya, dia menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta pada 1977, seangkatan dengan Deddy Mizwar dan Didik Nini Thowok.
Karier aktingnya telah berlangsung selama lebih dari empat dekade, dimulai dengan film Gadis (1980) yang merupakan arahan dari sutradara Nya’ Abbas Akup. Melalui film inilah, dia bertemu dengan Dewi Yull yang merupakan istri pertamanya.
Film Gadis yang dirilis pada 1980 merupakan titik awal pertemuan antara Ray Sahetapy dan Dewi Yull. Pada film tersebut, Ray memerankan karakter Jaka, seorang pemuda lulusan Mosvia yang ditugaskan di sebuah daerah terpencil. Sementara Dewi Yull berperan sebagai Gadis, seorang wanita muda yang bekerja sebagai pembantu di rumah seorang bangsawan.
Kisah cinta antara Jaka dan Gadis dalam film memang tidak berjalan mulus. Akan tetapi di kehidupan nyata, benih cinta tumbuh di antara keduanya. Setelah bekerja bersama dalam film tersebut, Ray dan Dewi menjalin hubungan yang lebih dekat dan akhirnya memutuskan untuk menikah pada 16 Juni 1981. Meskipun pernikahan mereka tidak mendapat restu dari keluarga Dewi karena perbedaan agama, pasangan ini tetap melangsungkan pernikahan.
Ray dan Dewi Yull memiliki empat anak, yakni Giscka Putri Agustina Sahetapy (1982–2010), Rama Putra Sahetapy (1992), Surya Sahetapy (1994), dan Muhammad Raya Sahetapy (2000). Akan tetapi, pernikahan mereka berakhir pada 2004.
Film Gadis tidak hanya menjadi debut layar lebar bagi Ray Sahetapy, tetapi juga menjadi awal dari perjalanan panjang kariernya di industri perfilman Indonesia. Penampilan Ray yang mengesankan dan paling diapresiasi saat itu, beberapa di antaranya dalam film-film drama seperti Ponirah Terpidana (1983), dan Tatkala Mimpi Berakhir (1987).
Pada era 1990-an, industri film Indonesia sempat mengalami penurunan produksi akibat dominasi sinetron di televisi. Meskipun demikian, Ray Sahetapy tetap aktif di dunia seni peran dengan terlibat dalam beberapa film seperti Jangan Bilang Siapa-Siapa dan Nona Manis.
Selain itu, dia juga mendirikan sanggar teater dan membentuk komunitas seni untuk mendukung perkembangan teater di Indonesia. Sanggar ini sempat menimbulkan kehebohan karena gagasannya mengenai perubahan nama Republik Indonesia menjadi Republik Nusantara. Setelah periode tersebut, Ray sempat vakum dari dunia perfilman.
Pada 2006, dia kembali membintangi film berjudul Dunia Mereka, yang menandai kembalinya ke layar lebar. Pada tahun yang sama, Ray terpilih sebagai salah satu ketua dalam kongres Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) yang menunjukkan dedikasinya terhadap industri perfilman nasional.
Sepanjang kariernya di industri perfilman Indonesia, Ray Sahetapy telah menerima berbagai penghargaan dan nominasi yang mengakui bakat serta dedikasinya dalam seni peran.
Melalui film Noesa Penida yang tayang pada 1988, Ray dinominasikan sebagai aktor terbaik pada Festival Film Indonesia 1989. Selain itu, dia juga pernah dinominasikan sebanyak tujuh kali dalam ajang penghargaan film yang sama, yakni melalui film Ponirah Terpidana pada 1984, Secangkir Kopi Pahit pada 1985, Kerikil-Kerikil Tajam pada 1985, Opera Jakarta pada 1986, Tatkala Mimpi Berakhir pada 1988, dan Jangan Bilang Siapa-Siapa pada 1990.
Sampai akhirnya pada ajang Indonesian Movie Actors Awards 2013, dia dianugerahi penghargaan sebagai Pemeran Pendukung Pria Terbaik melalui perannya dalam film The Raid: Redemption. Dua tahun kemudian pada Festival Film Bandung 2015, dia memenangkan penghargaan Pemeran Pembantu Pria Terpuji Film Bioskop, lewat film 2014: Siapa di Atas Presiden?.
Kini, sang aktor kelahiran 1 Januari itu telah pergi untuk selamanya. Namun karya-karyanya akan terus diingat dan menjadi inspirasi bagi semua orang.