
Jalan-jalan ke luar negeri memang mengasyikan lantaran memiliki pesona dan budaya unik yang memikat. Namun, tahukah sobat kover, dibalik pesona dan budayanya itu, tak semua tempat di luar negeri tersebut nyatanya meninggalkan kesan yang yang mengesankan loh. Ya, pasalnya, ada beberapa negara di dunia ini terkenal memiliki penduduk yang cenderung dingin, tertutup, atau bahkan terlihat kasar.
Meskipun demikian, tidak berarti warganya benar-benar tidak ramah ya, kerap kali hal ini hanya karena perbedaan budaya dan cara berinteraksi mereka. Berdasarkan hasil survei yang telah kami rangkum dari Europe of Tales, ada beberapa negara yang dianggap memiliki penduduk paling dianggap kurang ramah di dunia menurut pengalaman wisatawan. Nah, lantas negara apa saja itu ya? Tentunya penasaran bukan? Dalam artikel kali ini tim kovermagz akan membahasnya untuk anda. Simak selengkapnya disini!
Amerika Serikat
Terkenal sebagai negara terkuat, super power modern dan multikultural, namun kota-kota besar di Amerika justru sering dianggap tidak ramah bagi wisatawan asing. Sebut saja contohnya saat berada di bandara. Di bandara, antrean panjang dan petugas keamanan yang kaku membuat suasana terasa menegangkan sejak awal kedatangan.
Lalu saat anda berada di restoran atau sebuah toko di Amerika. Anda mungkin akan mendapatkan pelayanan yang cepat dari petugas namun juga pasti akan diiringi nada bicara yang singkat dan tanpa senyum. Setelah ditelusuri lebih mendalam, ternyata faktor utama di balik kesan ini adalah gaya hidup yang serba cepat. Bagi penduduk kota besar seperti New York atau Los Angeles, waktu adalah segalanya, sehingga keramahan sering dikorbankan demi efisiensi.
Inggris Raya
Meskipun dikenal beradab dan sopan, masyarakat Inggris memiliki cara berinteraksi yang lebih kaku dibanding negara lain. Misalnya di London, suasana di jalanan atau transportasi umum sering terasa hening dan penuh jarak. Mereka jarang memulai percakapan dengan orang asing, bahkan ketika berada dalam situasi ramah sekalipun. Kecenderungan untuk menjaga privasi dan berbicara seperlunya ini membuat banyak wisatawan merasa seperti diterima setengah hati.
Jerman
Selanjutnya adalah Jerman. Di Jerman, kejelasan dan ketepatan adalah bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Penduduknya terbiasa berbicara langsung pada inti masalah tanpa banyak basa-basi, sesuatu yang bagi turis bisa terasa keras atau kasar. Di restoran, hotel, atau tempat umum, interaksi sering berlangsung cepat dan formal tanpa senyum berlebihan.
Selain itu, warga Jerman tak ragu menegur kesalahan kecil, seperti salah memilah sampah atau melanggar aturan lalu lintas pejalan kaki. Meski dimaksudkan untuk menegakkan keteraturan, sikap ini sering meninggalkan kesan tidak ramah bagi wisatawan yang terbiasa dengan pendekatan lebih santai.
Prancis
Prancis, terutama ibu kotanya, Paris, sudah lama dikenal memiliki reputasi kurang bersahabat bagi wisatawan. Banyak pelancong mengaku diabaikan di toko atau diremehkan hanya karena tak bisa berbicara bahasa Prancis dengan lancar. Tatapan sinis dan nada bicara yang terkesan arogan sering kali membuat pengunjung merasa tidak diterima.
Sikap ini berakar dari kebanggaan nasional dan keanggunan budaya mereka sendiri. Bagi orang lokal, menjaga standar kesopanan dan kebiasaan khas Prancis adalah hal penting, meski bagi wisatawan perilaku tersebut sering diartikan sebagai bentuk kesombongan.
Rusia
Bagi banyak wisatawan, pengalaman pertama di Rusia bisa terasa cukup “dingin.” Di sana, senyum bukan bentuk keramahan yang umum diberikan kepada orang asing. Nada bicara yang keras dan ekspresi wajah yang datar sering disalah-artikan sebagai kemarahan, padahal itu hanyalah cara alami mereka berinteraksi.
Sikap tertutup ini terbentuk dari sejarah panjang dan budaya yang menekankan ketegasan serta kehati-hatian terhadap orang baru. Akibatnya, banyak turis merasa seperti tidak disambut meski sebenarnya mereka hanya berhadapan dengan norma sosial yang berbeda.
Spanyol
Spanyol, terutama wilayah pariwisata populer seperti Barcelona, mengalami kelelahan akibat arus wisata yang berlebihan selama bertahun-tahun. Warga lokal yang dulu terbiasa ramah kini mulai menunjukkan kejenuhan terhadap pengunjung yang datang tanpa henti. Di restoran, wisatawan sering diabaikan atau dijawab ketus saat menanyakan sesuatu.
Selain faktor kejenuhan, perbedaan bahasa juga memperparah situasi. Banyak warga yang enggan berbicara bahasa Inggris, sementara turis yang tak bisa berbahasa Spanyol sering kali merasa diperlakukan dengan dingin. Akibatnya, kota-kota besar di Spanyol kini dikenal sebagai destinasi yang kurang bersahabat meski tetap menawan secara budaya.
Tiongkok
Terakhir adalah Tiongkok. Kepadatan penduduk dan ritme kehidupan yang cepat membuat interaksi sosial di Tiongkok terasa serba terburu-buru. Di tempat-tempat ramai seperti Beijing atau Shanghai, wisatawan sering menghadapi antrean yang tidak teratur, percakapan dengan suara keras, bahkan perilaku yang tampak tidak sopan menurut standar budaya lain.
Selain itu, ruang pribadi di Tiongkok hampir tidak ada, dorong-mendorong di tempat umum atau berbicara tanpa menatap lawan bicara merupakan hal biasa. Kombinasi antara kesibukan kota dan perbedaan budaya inilah yang membuat banyak wisatawan merasa kurang disambut dengan ramah.


