Hari Donor Darah Sedunia – Kekhawatiran Bagi Penyandang Talasemia

Medan, KoverMagz – Thalasemia adalah ketidakmampuan memproduksi sel darah merah dan hemoglobin, merujuk kepada sekelompok penyakit kelainan darah genetik atau penyakit bawaan yang ditandai oleh kerusakan produksi sel darah atau struktur hemoglobin, protein ditemukan di dalam sel-sel darah merah. Secara umum, tubuh terdiri atas tiga jenis sel darah yaitu sel darah merah, trombosit, dan sel-sel darah putih.

Hemoglobin adalah protein dalam sel darah merah (eritrosit) yang membawa oksigen ke seluruh tubuh dan mengangkut balik karbon dioksida ke paru-paru untuk dikeluarkan. Hemoglobin juga berfungsi untuk memberi warna merah khas pada sel darah ini.

Secara klinis thalassemia dibagi menjadi dua yakni talasemia mayor dan talasemia minor.

Talasemia mayor adalah pasien memerlukan transfusi darah yang rutin dan adekuat seumur hidupnya. Kekurangan darah merah dan harus mendapatkan transfusi darah setiap bulan seumur hidup agar fungsi organ-organ tubuhnya berjalan baik. Bila kebutuhan darah tersebut tidak terpenuhi maka Hb akan terus turun dan dapat menyebabkan berbagai komplikasi bahkan kematian.

Akibat seringnya diberikan transfusi darah, pasien talasemia mayor juga membutuhkan obat untuk mengikat zat besi agar tidak menumpuk dalam organ.

Talasemia minor adalah salah satu jenis talasemia yang tergolong ringan. Kondisi ini disebut juga thalasemia trait atau sifat thalasemia karena hanya pembawa sifat.  Kondisi di mana tubuh masih mampu menghasilkan hemoglobin yang cukup, meskipun sel darah merah mungkin terlihat lebih pucat dari biasanya. Seringkali penyakit ini tidak menimbulkan gejala-gejala pada penderita. Jika pun terdapat gejala-gejala, biasanya keliru dengan kekurangan zat besi atau anemia ringan.

Gejala : 

Gejala tersebut antara lain anak akan tampak pucat akibat turunnya kadar hemoglobin (Hb), kadang anak terlihat kuning, ikterus (bayi kuning) akibat hemolisis yang berat dan dapat disertai tanda gangguan fungsi jantung.

Gejala lainnya yang mungkin muncul adalah  terabanya benjolan pada perut anak saat orangtua memandikan anaknya.

Pembesaran ini biasanya adalah organ limpa  yang membesar akibat kompensasi dari anemia kronis. Sebab limpa bekerja keras membantu kerja tulang untuk membentuk sel darah merah.

Pengobatan :

Sampai saat ini di Indonesia terapi utama bagi pasien thalassemia masih dengan transfusi darah. Di dunia saat ini sudah mulai berkembang transplantasi sumsum tulang, yaitu mengganti sumsum tulang pasien dengan sumsum tulang orang normal yang cocok.

Biasanya berasal dari saudara sekandung, namun yang menjadi masalah adalah jika seluruh saudaranya pengidap thalassemia juga. Transplantasi terbaik untuk thalassemia adalah transplantasi menggunakan sediaan sumsum tulang (bone marrow transplant).

Dalam peringatan Hari Donor Darah Sedunia tanggal 14 Juni, ada kekhawatiran yang kian meningkat di kalangan penyandang talasemia mayor di Indonesia. Berbagai kebijakan terkait pandemi menurunkan secara signifikan jumlah pendonor darah, padahal kebutuhan darah para penyandang penyakit ini stabil.

Bagi Bangkit Prayoga, pergi ke rumah sakit setiap bulan untuk mendapatkan transfusi darah adalah kegiatan rutinnya selama hampir 21 tahun terakhir. Sejak usia 2 tahun, pria tersebut terpaksa menjalani prosedur itu untuk menyambung nyawanya. Ia kerap menggambarkan dirinya ibarat ponsel yang tenaga baterainya perlu diisi ulang.

“Saya ini seperti ponsel, Kalau terlalu banyak menggunakan aplikasinya, tenaga baterainya akan menurun. Jadi penyandang talasemia mayor dianjurkan tidak melakukan kegiatan yang berat-berat, yang wajar-wajar saja agar kadar hemoglobin stabil,” jelasnya.

Baca Juga:  Selain Wortel, Ini Dia 5 Jenis Makanan yang Ampuh untuk Menyehatkan Mata

Sebagai penyandang talasemia mayor, transfusi darah merupakan satu-satunya solusi. Penyakit kelainan darah merah ini belum ada obatnya, sehingga untuk bisa bertahan hidup, opsi itu harus diambil.

Bangkit adalah salah satu dari sekian ribu penyandang talasemia mayor di Indonesia. Yayasan Thalassemia Indonesia sejauh ini mencatat ada lebih dari 10.000 penyandang penyakit ini.

Dr Edhyana Sahiratmadja, pemerharti talasemia dan pakar biologi molekuler yang saat ini menjabat sebagai dosen dan periset ilmu biomedik, di Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran. (Dok: Pribadi)

Menurut perhitungan Dr Edhyana Sahiratmadja, pemerhati talasemia dan pakar biologi molekuler yang saat ini menjabat sebagai dosen dan periset ilmu biomedik, di Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, dengan jumlah penyandang talasemia mayor yang mencapai 10.000 saja, dibutuhkan sedikitnya 240.000 kantong darah per tahun. Sayangnya, karena pandemi suplainya menyusut drastis.

“Stok darah di PMI selama pandemi COVID-19 menurun hingga 60 persen dibandingkan dengan situasi normal. Mengapa stok darah bisa menurun drastis? Ini karena suplai darah menurun, yang artinya jumlah pendonor darah berkurang,” jelas Edhyana.

Edhyana memprihatinkan tingginya kebutuhan transfusi darah itu. Di masa pandemi, suplai darah menurun drastis seiring berlakunya berbagai pembatasan, sementara kebutuhannya stabil. Walhasil, penderita talasemia mayor akan terpaksa berbagi atau bahkan bersaing mendapatkan suplai darah dengan penyandang-penyandang penyakit lain yang juga membutuhkan transfusi, seperti hemofilia, gangguan ginjal dan demam berdarah (DBD).

“Untuk penyandang talasemia mayor, dampaknya luar biasa. Mereka butuh transfusi darah secara rutin tiap bulan. Bila tidak memiliki cukup pendonor untuk transfusi, maka kadar hemoglobin bisa turun, dan bisa menimbulkan berbagai komplikasi, dan bahkan kematian,” kata Edhyana.

Edhyana sendiri memiliki keprihatinan khusus terhadap talasemia karena dua dari tiga anak perempuanya, seperti dirinya, adalah pembawa (carrier) gen talasemia yang biasa disebut penyandang talasemia minor. Kelompok yang satu ini memang tidak memerlukan transfusi darah namun berpeluang memiliki keturunan yang menyandang talasemia mayor jika mereka menikah dengan sesama penyandang talasemia, baik minor maupun mayor. Hanya penyandang talasemia mayor yang memerlukan transfusi darah.

Harapan serupa diungkapkan Bangkit, yang kini menjadi juru bicara Perhimpunan Penyandang Thalassemia Indonesia (PPTI). Ia mengatakan, “Setelah pandemi muncul, pasokan darah benar-benar menurun. Sehingga kami menganjurkan para penyandang talasemia mayor memiliki enam pendonor tetap. Kalau ada pendonor, dari mana mereka bisa mendapatkan darah?.”

Karena kebutuhan transfusi darah sangat tinggi dan obat pengikat besi mahal, talasemia mayor menempati urutan ke-5 beban pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) atau masuk kategori penyakit katastropik.

Sebagai informasi saja, proses transfusi darah itu tidak murah. Biayanya sekitar 15 juta rupiah untuk satu kali transfusi. Untunglah talasemia mayor masuk program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sehingga biaya perawatannya termasuk transfusi darah, ditanggung oleh penyelenggara program itu, yakni (BPJS) .

Talasemia sebetulnya bisa dihindari. Karena itulah Edhyana dan para penyandang talasemia lain, termasuk mereka yang peduli, rajin mengampanyekan program sadar talasemia untuk memutus mata rantai penyakit itu.

Inti program itu adalah menyadarkan orang-orang, terutama, generasi muda, untuk memeriksakan diri sedini mungkin apakah mereka penyandang talasemia. Jika memang terbukti menyandang kondisi itu, mereka dianjurkan untuk tidak menikah dengan sesama penyandangnya. Setiap anak yang dilahirkan dari pasangan seperti itu berpeluang 25 persen menjadi penyandang talasemia mayor atau 50 persen sebagai penyandang talasemia minor.

Ruswandi, ketua Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassaemia (POPTI), mengatakan, “Kalau kita tidak melakukan edukasi atau tidak melakukan pencegahan, nanti jumlahnya akan semakin banyak, akan semakin sulit memutus mata rantainya. Sebelum terlalu banyak, kita harus mulai program pencegahan. Di Indonesia, pembawa sifat atau carrier itu sekitar enam hingga 10 persen dari total penduduknya.”

Penulis : Annette Thresia Ginting

Sumber : Halo Sehat, Kontan dan VoA