Kira-kira siapakah pesepak bola Indonesia yang paling berpengaruh sepanjang masa? Tentunya sobat kover pernah bertanya-tanya bukan? Melansir dari laman bola.com, Liga Indonesia sudah digelar sejak 1930. Sementara, Timnas Indonesia telah ada pada tahun 1921 ketika masih bernama Hindia Belanda yang turut berpartisipasi di Piala Dunia edisi ketiga pada 1938.
Berdasarkan catatan sejarah, Persija Jakarta menjadi tim terbaik di Liga Indonesia dengan koleksi sebelas gelar, disusul Persib Bandung, Persis Solo, dan PSM Makassar dengan tujuh trofi. Untuk Timnas Indonesia sendiri sudah bertanding 839 kali di level internasional, dengan perolehan 338 kemenangan, 150 seri, dan 351 kekalahan. Prestasi terbaik Skuad Garuda ialah meraih medali emas SEA Games 1987 dan 1991.
Menilik catatan sejarah itu, lantas siapakah pesepak bola yang paling berpengaruh sepanjang masa tersebut? Melansir dari beberapa sumber, kali ini tim kovermagz akan membahasnya untuk anda. Simak selengkapnya disini!
Iswadi Idris
Posisi pertama ada pemain asal Aceh bernama Iswadi Idris. Konon, ia kerap disebut sebagai pemain serba bisa. Ia bahkan kerap menempati posisi sayap kanan dan paling berbahaya ketika melakukan akselerasi dari sisi sayap. Kondisi tersebut tak lepas dari kecintaannya terhadap olahraga lari. Maklum, awalnya Iswadi Idris tak berminat menjadi seorang pesepak bola.
Pemain yang hanya berpostur 165 cm ini kemudian berkembang menjadi pesepak bola andal yang turut menyumbangkan medali perak Asian Games 1970 untuk Indonesia. Ia juga pernah menjadi kapten Timnas Indonesia pada medio 1970-an hingga 1980. Iswadi Idris dikenal sebagai pemain yang punya kecepatan paling berbahaya di Asia. Bersama Soetjipto Soentoro, Jacob Sihasale, dan Abdul Kadir, ia dikenal sebagai kuartet tercepat di Asia kala itu.
Organisasi Internasional yang mendedikasikan untuk mengumpulkan statistik, RSSSF, merangkum Iswadi Idris sebagai pemain tersubur kedua Timnas Indonesia sepanjang masa setelah Abdul Kadir. Jika Abdul Kadir berhasil mencetak 70 gol dari 111 penampilan pada 1967-1979, maka Iswadi Idris membukukan 55 gol dalam 97 penampilan buat Timnas Indonesia pada 1968-1980.
Kurniawan Dwi Yulianto
Aksi Kurniawan Dwi Yulianto sebagai striker terbaik Indonesia mewarnai kompetisi Tanah Air pada akhir 1990-an sampai awal 2000-an. Meski tak pernah menjadi top scorer di Liga Indonesia, namanya selalu masuk dalam daftar pencetak gol terbanyak setiap musim. Di Timnas Indonesia, penyerang kelahiran Magelang, 13 Juli 1976 ini, mencatatkan 33 gol dari 59 penampilan pada kurun waktu 1995-2005. Dia hanya kalah dari Abdul Kadir, Iswadi Idris, Bambang Pamungkas, dan Soetjipto Soentoro.
Kendati begitu, perjalanan karier Kurniawan juga serupa dengan pemain lainnya. Ia juga mengalami pasang surut. Saat berguru di Italia bersama PSSI Primavera pada 1993, Kurniawan digadang-gadang jadi simbol kebangkitan sepak bola Indonesia. Penampilannya di kompetisi Primavera yang dijadikan tolok ukur pemain muda Italia terbilang lumayan. Pada musim pertamanya, ia masuk dalam daftar pemain tersubur. Hasil ini membuatnya masuk dalam radar tim pelatih Sampdoria, klub elite di Italia ketika itu.
Pada 1995, berdasarkan rekomendasi Sampdoria, Kuniawan bergabung Lucern FC, klub yang berlaga di kompetisi kasta tertinggi Swiss. Dia dinilai butuh jam terbang untuk mematangkan kemampuannya. Apalagi lini depan sudah dihuni Roberto Mancini, Enrico Chiesa, hingga Filippo Maniero. Kiprah Kurniawan dalam semusim bersama Lucern terbilang lumayan untuk usianya yang belum genap 19 tahun saat itu. Dia tercatat tampil delapan kali di level senior. Dia pun kerap jadi pemain utama pada kompetisi U-19 Swiss.
Kurniawan tercatat tampil bersama Lucern di Piala Intertoto, turnamen level ketiga di Eropa. Sayang pada pengujung kompetisi, penampilan Kurniawan menurun karena akumulasi masalah yang menderanya. Di antaranya cedera dan pergaulan yang salah. Selepas dari Lucern, Kurniawan Dwi Yulianto sempat mengikuti latihan pramusim Sampdoria pada 1996. Tapi, ia tiba-tiba memutuskan pulang ke Indonesia.
Sepulang dari Eropa, Kurniawan Dwi Yulianto ditampung Pelita Jaya, klub milik Nirwan Bakrie yang juga pemodal proyek PSSI Primavera. Selama di Pelita, pamor Kurniawan mengalami masa surut. Da memang sempat menggeliat dengan menjadi top scorer sementara pada Liga Indonesia 1997-1998. Tapi, ketika itu kompetisi terhenti karena krisis ekonomi dan politik melanda Tanah air.
Pada periode ini, nama Kurniawan tercoreng menyusul kasus narkoba. Dia dituduh mengomsumsi obat-obatan terlarang jenis sabu dalam suatu hotel di Surabaya pada 1997. Beruntung, kariernya terselamatkan dan ia kembali bangkit. Nurdin Halid adalah sosok penting kebangkitan Kurniawan. Pengusaha asal Makassar ini mengajak Kurniawan bergabung ke PSM Makassar jelang musim 1999/2000. Di Juku Eja, pamor Kurniawan kembali benderang.
Bersama PSM, ia meraih trofi juara Liga Indonesia kali pertama setelah Juku Eja menekuk PKT Bontang 3-2 di laga final yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta. Pada musim itu juga, ia nyaris menjadi top scorer kompetisi. Ia hanya kalah satu gol dari Bambang Pamungkas yang membela Persija, pencetak gol terbanyak 24 gol.
Berkat aksinya, nama Kurniawan dipanggil masuk skuat timnas Indonesia di Piala Asia 2000. Setahun kemudian, Kurniawan jadi bagian penting PSM saat lolos ke final Liga Indonesia 2000/2001 dan semifinal Liga Champions Asia 2001 Zona Timur. Setelah musim di PSM berakhir, Kurniawan Dwi Yulianto hengkang ke PSPS Pekanbaru yang kala itu menjadi tim ‘pengoleksi pemain tim nasional pada 2001-2003. Dari PSPS, ia menyeberang ke Persebaya Surabaya. Di klub kebanggaan Bonek ini, Kurniawan meraih trofi juara Liga Indonesia untuk kali kedua pada musim 2004.
Sukses bersama Persebaya jadi klimaks perjalanan karier sepak bola Kurniawan. Perlahan tapi pasti pamornya meredup. Memperkuat sejumlah klub seperti Persija Jakarta, Serawak FA di Malaysia, PSS Sleman, Persitara Jakut, Persisam Samarinda dan Persela Lamongan, pencapaian Kurniawan tak lagi benderang.
Setelah pensiun sebagai pemain pada 2013, Kurniawan mencoba peruntungan menjadi pelatih. Setelah berkutat di pembinaan usia muda, ia ditarik untuk menjadi asisten pelatih Timnas Indonesia level usia. Sempat memimpin Sabah FC di Liga Malaysia dan menjadi asisten pelatih Como 1907 di Liga Italia, Kurniawan sedang berperan sebagai asisten pelatih Indra Sjafri di Timnas Indonesia U-22 untuk SEA Games 2023.
Andi Ramang
Yang ketiga ada Andi Ramang. Siapa sangka, jika pria kelahiran 1924 ini pada akhirnya menjadi legenda sepak bola Indonesia. Ramang dikenal sebagai striker kelas atas Indonesia pada dekade 1940-an akhir hingga 1960-an. Ramang disebut memiliki kemampuan tendangan yang keras dan akurat, kemampuan utuk melakukan tembakan salto, dan punya kecepatan di atas rata-rata.
Memulai karier profesionalnya di PSM Makassar, Ramang perlahan tapi pasti berkembang menjadi pesepak bola andal. Ramang bermain dalam dua periode di kompetisi liga Indonesia saat itu pada 1947-1960 dan 1962-1968. Hasilnya, Ramang mampu mempersembahkan dua gelar perserikatan kepada Juku Eja.
Kiprahnya di Timnas Indonesia dimulai pada 1953. Berkatnya, timnas disematkan dengan status Macan Asia. Sebab, dalam suatu tur ke Asia Timur pada 1953, timnas mampu memenangkan lima dari enam laga yang diselenggarakan. Timnas Indonesia hanya kalah sekali dari Korea Selatan. Menariknya, Ramang mencetak 19 gol dari total 25 gol tim berjulukan Skuad Garuda itu dalam enam pertandingan tersebut.
Kisah sukses Ramang di Timnas Indonesia tak berhenti di situ. Dia hampir membawa timnas ke Piala Dunia 1958 setelah dua golnya menyingkirkan China dengan skor agregat 4-3 di babak kualifikasi. Timnas Indonesia kemudian melaju ke putaran kedua kualifikasi dan tergabung dengan Sudan, Israel, dan Mesir. Sayang, Garuda Muda mengundurkan diri lantaran enggan bertanding melawan Israel karena alasan politik.
Jika menjadi juara grup, Ramang dkk. akan lolos ke Swedia untuk melakoni debut Piala Dunia dengan nama Timnas Indonesia. Selain itu, pada tahun 1959, Ramang turut menginspirasi kesuksesan Timnas Indonesia menahan imbang Jerman Timur 2-2 dalam sutu laga persahabatan di Jakarta pada 1959. Puncak kariernya di timnas Indonesia terjadi pada 1960. Kala itu, Ramang menjadi bagian dari Garuda Muda menghadapi Uni Soviet, yang sekarang Rusia), di babak perempatfinal Olimpiade.
Saat itu, Ramang harus berhadapan dengan kiper terbaik dunia, Lev Yashin. Dia terpana melihat aksi Ramang yang hampir menjebol gawangnya. Pada pertandingan tersebut, Timnas Indonesia harus puas dengan skor imbang 0-0. Namun sayang, kisah gemilang Ramang di dunia sepak bola tidak semanis nasibnya di kehidupan sehari-hari karena jerat kemiskinan harus dipikulnya. Apalagi kasus suap yang kesohor dengan sebutan skandal Senayan 1962 yang menyeret namanya membuat Ramang dilarang bermain untuk Timnas Indonesia seumur hidup dan nasibnya terus terpuruk.
Setelah itu, Ramang sempat berkarier menjadi pelatih PSM dan Persipal Palu, namun tersingkir secara perlahan akibat tidak memiliki sertifikat kepelatihan. Akhirnya sang Legenda meninggal dunia pada 1987 saat usianya 59 tahun akibat penyakit paru-paru, tanpa bisa berobat di rumah sakit akibat kekurangan biaya.
Akan tetapi, kisah hidupnya tersebut justru menginspirasi FIFA. FIFA mengakui Ramang sebagai sosok dalam puncak kejayaan sepakbola Indonesia pada 1950-an. Bahkan FIFA pernah mengangkat kisah kehebatan Ramang ini secara khusus dalam situs resmi mereka saat peringatan ke-25 tahun kematiannya pada 26 September 2012.
Pada situs FIFA, kisah Ramang diberi judul ‘Orang Indonesia yang Menginspirasi Puncak Sukses Tahun 1950-an’. Selain itu, juga ada cerita Ramang bertitel ‘The Man, The Myth, The Legend’. FIFA memusatkan kegemilangan Ramang ketika memperkuat Timnas Indonesia di Olimpiade Melbourne 1956.
Firman Utina
Firman Utina pertama kali memperkuat Timnas Indonesia untuk SEA Games 2001 yang digelar di Malaysia. Sejak itu, Firman pun menjadi salah satu langganan untuk masuk dalam skuat Garuda. Penampilan cemerlang Firman Utina bersama Timnas Indonesia adalah saat menghadapi Bahrain di pertandingan pertama Piala Asia 2007. Kontribusi besar Firman terhadap gol yang dicetak Bambang Pamungkas dan Budi Sudarsono membuatnya menjadi Man of the Match pada laga tersebut.
Puncak karier Firman di timnas Indonesia pun didapatkan pada Piala AFF 2010 yang digelar di Indonesia. Firman, yang menjadi wakil kapten tim saat itu, lebih sering mengenakan ban kapten karena Bambang Pamungkas lebih sering dicadangkan oleh Alfred Riedl karena kehadiran Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim di lini depan.
Performa apik Firman di lini tengah Tim Garuda membuat sosoknya terlihat semakin sentral. Firman mampu membayar kepercayaan Riedl dengan penampilan cemerlang, salah satunya saat memberikan umpan matang kepada Cristian Gonzales yang berbuah gol di leg pertama dan kedua laga kontra Filipina di semifinal Piala AFF 2010.
Soetjipto Soentoro
Merupakan satu di antara pemain tersubur dengan seragam logo Garuda di dada. Mantan pemain kelahiran Bandung, 16 Juni 1941 itu membukukan 37 gol dari 61 penampilan selama lima tahun berseragam Timnas Indonesia. Pemain yang karib dipanggil Gareng itu membela Timnas Indonesia pada kurun waktu 1965-1970. Soetjipto melambangkan penyerang berbahaya Timnas Indonesia era 1960-an.
Sebutan Gareng dialamatkan padanya lantaran tubuhnya yang mungil. Satu momen yang masih membekas adalah ketika Gareng mencetak trigol ke gawang Werder Bremen ketika Timnas Indonesia melakukan tur Eropa. Setelah pertandingan, pelatih Werder Bremen yang merangkap pelatih nasional Jerman Barat, Herr Brocker, terkesan dan menawarkan Soetjipto, bermain untuk klubnya.
Gareng dan Timnas Indonesia yang kala itu masih dihuni Iswadi Idris lantas menjadi satu di antara kekuatan terbaik Asia. Mereka bahkan ‘cuma’ kalah tipis 0-1 dari Dynamo Moscow yang dijaga kiper Lev Yashin. Prestasi terbaik yang diraih Timnas Indonesia saat Gareng menjabat sebagai kapten tim di antaranya adalah juara Piala Emas Agha Khan 1966 dan Piala Raja 1968.
Selain itu, pada turnamen Merdeka 1968 di Malaysia, meski hanya sampai semifinal, Gareng sempat membombardir gawang China dengan lima golnya. Timnas Indonesia juga menang telak 11-1, rekor kemenangan terbesar sebelum dilewati oleh kemenangan 13-1 atas Filipina pada Piala Tiger 2002.
Bambang Pamungkas
Bepe begitu sebutannya diketahui sempat bermain di negara tetangga, Malaysia, bersama Selangor FA. Di musim perdananya pada tahun 2005, ia mempersembahkan tiga gelar sekaligus. Bepe melakoni debut bersama Timnas Indonesia pada 2 Juli 1999 saat pertandingan persahabatan melawan Lituania. Bambang, yang saat itu baru berusia 18 tahun, berhasil menciptakan sebuah gol dalam pertandingan yang berakhir seri 2-2.
Pada 2002, Bambang menjadi pencetak gol terbanyak dengan delapan gol dari enam penampilan sekaligus membantu Indonesia menjadi runner-up Piala Tiger 2002. Pada 10 Juli 2007, ketika pertandingan Timnas Indonesia kontra Bahrain di Piala Asia, ia mencetak gol dan memastikan Indonesia menang 2-1. Pada 1 April 2013, Bambang Pamungkas menyatakan pensiun dari Timnas Indonesia.
Bambang turut mempersembahkan gelar Liga 1 2018 kepada Persija sebelum pensiun pada akhir 2019. Menurut Kata Data, pemain yang karib dipanggil Bepe itu menjadi pencetak gol terbanyak ketiga Liga Indonesia dengan 178 gol.
Bambang Pamungkas juga tercatat sebagai pemain paling banyak ketiga membela Timnas Indonesia. Sepanjang periode 1998-2012 Bepe memperkuat Skuad Garuda dalam 87 laga internasional. Di awal kariernya, Bambang sempat bermain di klub Divisi II Belanda, ECH Norad pada 2000. Pemain yang identik dengan nomor punggung 20 itu tercatat sebagai top scorer Liga Indonesia musim 2000. Ia sukses mengantarkan Persija Jakarta jadi juara kasta elite musim 2001. Bambang kerap menjadi inspirasi, panutan, hingga idola pesepak bola saat ini. Kharismanya sebagai pemain, kariernya yang panjang, hingga ketajamannya sebagai striker dianggap sebagai paket lengkap sebagai role model seorang pemain.
Robby Darwis
Satu di antara beberapa pemain yang sukses ketika berkiprah di Timnas Indonesia. Ia tercatat dua kali meraih medali emas di pentas SEA Games, yaitu pada 1987 dan 1991, pencapaian yang belum bisa disamai oleh skuat Garuda lain hingga saat ini. RSSSF mencatat bahwa Robby Darwis memperkuat Timnas Indonesia selama sepuluh pada 1987-1997 dengan total 53 penampilan dan mencetak tiga gol.
Sosok Robby Darwis tidak akan mudah dilupakan oleh pencinta sepak bola. Prestasinya bersama Persib saat menjadi pemain dan Timnas Indonesia cukup mentereng. Ia juga sempat menjadi asisten pelatih dan caretaker di Persib. Pemain yang identik dengan nomor punggung enam ini secara keseluruhan telah merasakan empat kali juara bersama Persib, yakni pada 1986, 1989/1990, 1993/1994, dan 1994/1995.
Persib sebagai juara Perserikatan 1993/1994 mendapatkan kehormatan menghadapi juara Italia sekaligus Eropa, AC Milan. Ya saat itu, tim asuhan Fabio Capello itu datang ke Indonesia dengan status juara Serie A dan Liga Champions 1993/1994.
Kedatangan AC Milan tentu menjadi rasa gembira tersendiri bagi Robby Darwis. Legenda Persib Bandung dan Timnas Indonesia, Robby Darwis. Sejak kecil, Robby Darwis tak hanya menggemari Persib yang kemudian dibelanya, tapi juga AC Milan. Persib Bandung kalah telak 0-8 dalam pertandingan tersebut. Namun, bagi Robby Darwis itu menjadi kenangan tersendiri meski ia tidak bisa berhadapan dengan idolanya, Franco Baresi, yang saat itu tidak dibawa oleh Capello karena memperkuat Timnas Italia ke Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat.
Boaz Solossa
Merupakan legenda hidup Persipura dan Timnas Indonesia. Dia telah membela tim berjulukan Mutiara Hitam dan Skuad Garuda itu sejak 2000-an. Pemain yang karib dipanggil Bochi ini adalah talenta terbaik bagi Persipura. No debat! Bomber kelahiran Sorong, Papua itu telah mempersembahkan lima gelar Liga Indonesia, termasuk Indonesia Soccer Championship (ISC) A untuk Mutiara Hitam.
Nama Boaz meroket pada 2004. Bochi dipanggil ke Timnas Indonesia untuk Piala AFF 2004 ketika masih berusia 18 tahun. Sejak saat itu, peran Boaz di Timnas Indonesia tidak tergantikan hingga 2018, kecuali ia menderita cedera dan terpaksa absen. Boaz pernah dua kali mengalami cedera parah di Timnas Indonesia. Pertama, di Piala AFF 2014 ketika kakinya patah setelah ditekel bek Singapura, Baihakki Khaizan. Cedera kedua Boaz di Timnas Indonesia tidak kalah mengerikan. Adik dari Ortizan Solossa ini mengalami patah tulang kaki kanan ketika melawan Hong Kong pada 2007.
Boaz terpaksa menepi selama hampir dau tahun akibat dua cedera parah itu. RSSSF merangkum, sejak periode 2004-2018, Boaz bermain 48 kali untuk Timnas Indonesia dan mencetak 14 gol. Berdasarkan laman Kata Data, Boaz adalah pencetak gol terbanyak keempat di era Liga Indonesia. Bochi membukukan 176 gol, hanya kalah dari Christian Gonzales, Budi Sudarsono, dan Bambang Pamungkas.