Telusuri Jejak Peninggalan Suku Adat Karo Lewat Museum Pusaka Karo

Telusuri Jejak Peninggalan Suku Adat Karo Lewat Museum Pusaka Karo

Medan adalah ibu kota Provinsi Sumatera Utara yang kaya akan berbagai etnis dan suku. Kota multietnis ini tidak hanya dihuni oleh suku adat Melayu, Batak, Mandailing, Nias dan Pakpak saja. Melainkan ada satu suku lagi yang mendiami kota multi etnis tersebut, yaitu Suku Karo.

Suku yang satu ini tampaknya hampir mirip seperti suku batak, namun keduanya sangatlah berbeda, baik dari segi marga atau boru, tulisan, rumah adat, hingga pakaian adat. Bahkan, bahasa kedua suku ini juga tampak berbeda. 

Perbedaan Suku Batak dan Karo

Suku batak diketahui cenderung menggunakan bahasa yang agak keras. Namun, meskipun begitu, masyarakat dari pelbagai suku ini tetap menerimanya. Mereka mengganggap hal ini suku adat batak adalah suatu kekhasan yang unik yang tak dimiliki oleh suku-suku manapun. Tegas, berwibawa dan bersuara lantang juga sering kali disandingkan sebagai ciri khas dari suku adat batak toba itu sendiri. 

Berbeda halnya dengan suku adat karo. Suku yang satu ini justru memiliki bahasa yang cukup halus. Akan tetapi halusnya bahasa yang digunakan pun tidaklah seperti suku Jawa maupun Sunda. Halusnya bahasa pada Suku karo ini tentunya berbeda dan memiliki ciri khas tersendiri. Masing-masing suku ini berjalan dengan harmonis dan sangat jarang terikat dengan perkelahian ataupun permusuhan.

Lokasi Museum Pusaka Karo

Nah, jika sobat kover ingin menelusuri lebih dalam tentang suku adat karo, anda bisa mengunjungi salah satu museumnya yang terletak di Berastagi, tepatnya di Jalan Perwira, Gundaling I, Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Museum ini bernama Museum Pusaka Karo.  Di sana, anda akan melihat berbagai keunikan dan kekhasan yang dimiliki oleh Suku Adat Karo. Bahkan warisan leluhur suku adat karo juga tersedia di museum tersebut. 

Asal Mula

Telusuri Jejak Peninggalan Suku Adat Karo Lewat Museum Pusaka Karo

Dahulu, gedung museum karo ini adalah bekas Gereja Katolik Santa Maria. Namun setelah muncul ide dari seorang Pastor belanda yang ingin melestarikan kebudayaan Indonesia, akhirnya gedung ini pun dihibahkan dan berganti menjadi sebuah museum. 

Sang pastor ini bernama Pastor Katolik Leo Joosten Egidius. Ia tinggal di Indonesia selama 40 tahun lebih dan melihat bahwa budaya suku karo ini sangatlah unik, sehingga wajib untuk dilestarikan. Hal ini bertujuan agar dari satu generasi ke generasi berikutnya dapat mengetahui sekaligus menikmatinya.

Museum Pusaka Karo sudah diresmikan oleh Kementerian Pariwisata Indonesia pada tahun 2013. Namun, hingga kini belum pernah direnovasi. Hanya diberikan sedikit perbaikan pada struktur warna bagunan. Sementara yang lainnya masih tetap terjaga. Ruangan di Museum ini juga tidak terlalu luas, yakni hanya berukuran 8 x 10 meter. Namun meskipun begitu, Museum Pusaka karo tetap tersusun rapi dan teratur. 

Benda-benda Peninggalan Suku Adat Karo

Telusuri Jejak Peninggalan Suku Adat Karo Lewat Museum Pusaka Karo

Di sana, terdapat 800 benda antik yang dapat sobat kover lihat. Benda-benda antik ini diketahui berasal dari tahun 1700-an yang kemudian dikelompokkan menjadi beberapa bagian, seperti Arkeologi, Etnografika, Filologika dan Teknologi tempo dulu.

Misalnya saja arkeologi, yakni kelompok benda antik berupa koleksi seni yang ditinggal secara turun-temurun oleh leluhur. Kelompok benda antik ini mencakup kala katil, buli-buli, pinggan pasu, kulcapi dan sebagainya. 

Sementara Etnografika adalah benda antik yang berkaitan dengan kultur atau kesenian budaya karo setempat. Adapun contohnya yaitu Aksesoris Kalung budaya karo, padung-padung, gundala-gundala dan sebagainya.

Ada lagi, Teknologi tempo dulu yakni berupa benda-benda antik yang dulunya digunakan oleh suku adat karo untuk alat bertani, berburu dan sebagainya. Amak Cur, Kudin, nutu lesung dan tempat sirih adalah contoh benda antik yang terdapat di Museum Pusaka Karo. 

Kemudian, kelompok benda terakhir lainnya yang ada pada museum tersebut adalah Filologika yakni kelompok benda antik berupa tulisan sastra maupun linguistik. Contohnya adalah gelar pustaka lak-lak. Diketahui Pustaka Lak-lak ini sudah berusia sekitar 400 tahun lebih. Masyarakat setempat juga mengatakan bahwa benda antik yang satu ini merupakan hasil penemuan Pastor Joosten Leonardus Egidius saat berada di belanda. ia membawa pulang pustaka lak-lak tersebut dan memberikannya pada Museum Pustaka Karo.

Biaya Masuk 

Mengunjungi Museum ini, sobat kover tidak akan dikenakan biaya alias gratis. Namun, bila ingin memberikan donasi, anda dapat memberikannya melalui sebuah kotak yang ada di salah satu sudut ruangan. Adapun tujuan diiletakkannya kotak tersebut adalah agar Museum Pustaka Karo ini dapat terus berkembang. 

Akses Lokasi

Menuju museum ini, sobat kover akan menghabiskan estimasi waktu kurang lebih 2 jam 30 menit dengan jarak tempuh 66 KM dari Kota Medan. Akses menuju lokasi museum pustaka karo ini juga tidaklah susah. Anda bisa menggunakan kendaraan pribadi maupun bus. Misalnya bus Sinabung Jaya. 

Jika anda menaiki bus Sinabung Jaya, maka nantinya anda cukup katakan kepada pihak supir untuk diturunkan di sekitar Pasar Buah Berastagi. Dari situ, lokasi menuju museum tidaklah jauh. Tinggal berjalan kaki, maka anda sudah sampai di tempat tujuan. 

Jam Operasional

Museum Pusaka Karo terbuka untuk umum dengan jam operasional buka setiap hari Selasa hingga Minggu, pukul 10.00-17.00 WIB.

Baca Juga:  Catat! Ini 5 Tips Liburan Aman saat Musim Hujan