Penulis: Indriyana Octavia
Fotografer: M. Fitra Afriansyah
Medan mendadak gempar dengan tayangnya film besutan anak Medan berjudul Selembar Itu Berarti di bioskop pada tanggal 24 Mei 2018. Bukan karena mengandung kontroversi melainkan karena mengundang apresiasi. Film Selembar Itu Berarti (SIB) sarat akan nilai moral yang sangat dibutuhkan oleh generasi terkini. Sebelum masuk bioskop, film SIB merupakan film pendek yang diunggah di Youtube. Film tersebut mendapat respon positif dan banyak sekolah menyelenggarakan acara dengan memutar film SIB untuk pembelajaran. “Ternyata film tersebut sangat dihargai dan dibutuhkan, akhirnya aku inisiatif buat versi panjangnya.” ungkap Dedy Arliansyah Siregar.
Berawal dari keresahannya terhadap dunia film, Dedy beranjak menciptakan film yang tidak hanya menghibur tetapi juga mendidik. “Kalau ke bioskop bayar tiket Rp 35.000,- selesai nonton nggak dapat apa-apa. Kalau cuma hiburan, aku rasa ketawa-ketawa sama teman sudah terhibur. Sebuah film mencerminkan kehidupan di dalam audio visual bukan hanya hiburan semata. Aku kritisnya disitu.” ujar bassis Wafer Band ini mantap.
Dedy juga menjelaskan pentingnya ide dasar dalam membuat sebuah film. “Zaman sekarang banyak yang mengeluh soal film. Ada ibu-ibu yang melarang anaknya nonton televisi karena program acaranya merusak. Bahkan ada anak yang tega membunuh anggota keluarganya karena terpengaruh film geng motor tapi nggak dikasi beli motor. Jadi aku harap suatu film harus ada gunanya makanya aku buat film bertema pendidikan.” papar Dedy.
Pria kelahiran Medan, 27 November 1981 ini adalah sosok ajaib. Bagaimana tidak, dari rekaman indra penglihatannya terhadap suatu momen, ia bisa langsung terinspirasi menciptakan sebuah film. Ketika melihat seorang anak menghadap tiang bendera misalnya, Dedy tergerak untuk menciptakan film mengenai bendera merah putih yang kurang mendapat penghormatan. “Bendera itu sejarah Indonesia bukan penghias bangunan aja, jangan dibiarkan kena panas dan hujan. Besi aja bisa berkarat apalagi kain. Maunya tiap pagi dikibarkan, sore diturunkan,” imbuhnya.
Hobi Nulis Jadi Film Maker
Ketertarikan Dedy pada dunia perfilman dimulai pada tahun 2012. Alumni SMA Negeri 7 Medan ini dari dulu suka menulis terbukti dengan karangan lagu Wafer Band yang ia ciptakan sendiri. Dari menulis ia mencoba peruntungan dengan kamera. Belajar secara otodidak tidak membatasi keterampilan Dedy mengelola seni di kamera hingga akhirnya ia piawai memakai kamera dan mengedit hasil potretnya.
Untuk menangkap momen yang tak disangka-sangka, Dedy selalu membawa kamera kemanapun ia melangkah. Dari tiap peristiwa yang dilihat atau dialaminya, Dedy selalu mendapat ide segar untuk proses pembuatan dan pengembangan film-filmnya. Pola pikirnya yang terbuka mengiring Dedy pada kesempatan-kesempatan emas. Sebut saja semenjak ia menjadi anggota band dan sering manggung di event-event ternama, Dedy memperoleh banyak link. Kekuatan komunikasi juga terus ia tingkatkan karena ia merasa memiliki kelebihan disana. “Nggak ada manusia yang nggak dikasi kelebihan sama Tuhan. Yang berhasil adalah yang duluan menemukan kelebihan dari dalam dirinya. Jadi nggak ada manusia gagal di dunia ini,” tegas Dedy.
Dinaungi Mora Heart Production, Film Selembar Itu Berarti mulai shooting tahun 2015 mengambil lokasi di kabupaten Langkat dan Tapanuli Utara. Dedy mengaku kendala dalam memproduksi sebuah film adalah dana. Setelah proses shooting selesai, ia ‘memutar otak’ dengan mengadakan nonton bareng (nobar) di kabupaten-kabupaten yang tidak memiliki bioskop. Hasil dari kegiatan nobar itu ia gunakan untuk mengolah filmnya agar masuk layar lebar. “2015 itu filmnya sudah jadi tapi belum dipoles, 2017 uang sudah terkumpul baru remake film. Ada satu karakter yang diganti dan ada penambahan dua artis yaitu Anwar Fuadi dan Raslina Rasidin.” tambah Dedy.
Dalam pembuatan film, Dedy sangat mendukung local talent kota kelahirannya. Mayoritas pemain dan kru film Selembar Itu Berarti berasal dari Medan. Dibintangi oleh Puteri Dalilah Siagian, Raihan F Valendiaz, Yessica T Simanjuntak, Ratu Rizka Apriyani, Cut Indah Rizky, Anwar Fuadi, Raslina Rasidin dan Jay Wijayanto, film SIB menceritakan tentang perjuangan anak sekolah yang berasal dari keluarga kurang mampu namun tak pernah putus asa pada keadaan demi menggapai cita-citanya.
Beragam reaksi muncul setelah menonton film SIB, mulai dari tawa, haru, tangis, bahkan miris. “Ada orang tua yang nangis teringat anaknya yang sudah berpisah, ada orang tua yang spontan memeluk anaknya ngeri membayangkan kalau dia meninggal siapa yang akan mengurus anaknya, ada juga kepala sekolah yang awalnya melarang film SIB diputar di sekolah namun akhirnya mengizinkan karena sudah menonton sendiri, hingga ada seorang ayah yang tadinya marah-marah mendadak kalem karena ternyata film SIB menguras air mata. Jangan coba-coba nonton serius bisa bengkak mata, yang nggak serius aja sudah gawat,” ungkap pria yang gemar memancing ini sambil tersenyum.
Raih Penghargaan MURI
Film Selembar Itu Berarti mendapat 2 penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) yakni sutradara merangkap 18 posisi dan penonton terbanyak sebelum diputar resmi di bioskop. Kedelapanbelas posisi tersebut antara lain sutradara, produser, make up artist, penulis naskah, editor, pengarah acting, coloring, hingga pembuatan poster. Dedy mengambil alih hampir keseluruhan jabatan tersebut karena merasa sulit mencari tim yang satu visi dan misi dengannya. “Aku nggak nemuin orang yang siap untuk maju, siap untuk bertempur. Ngetim itu paling susah. Isi kepala orang beda-beda. Makanya aku duplikat diriku jadi beberapa orang biar sejalan. Kalau pakai tim belum tentu selancar dan seefektif yang aku mau. Total cuma dibantu 5 orang, 1 sound director, 4 lagi crew. Capek pastilah, makanya kalau film berikutnya gitu juga (18 posisi), bunuh ajalah aku,” ujarnya tertawa.
Menyabet MURI tidak pernah diangankan Dedy sebelumnya, ia hanya fokus melahirkan film-film berbobot yang layak tonton dan berguna bagi masyarakat. “Jangan takut berkarya, jangan banyak mikir, ada ide langsung tuangkan, jangan mikir ini itu, yang kita pikirkan bagus aja bisa jadi buruk apalagi yang buruk dipikirkan. Anggap aja karya kita kenangan untuk anak kita nanti kalau kita tua atau sudah mati,” tuturnya.
Sebelum rilis di bioskop, film Selembar Itu Berarti terlebih dahulu tayang di beberapa kabupaten di Sumatera Utara. Sebanyak 300.000 penonton sudah menjadi saksi perjuangan Putri dan Diaz dalam film tersebut. “Di bioskop film SIB bertahan ngalahkan film yang diperankan Reza Rahadian. Deadpool bahkan duluan turun. Cuma SIB yang adain penayangan film bukan promosi, setelah jadwal bioskop habis, lanjut lagi roadshow jadi sampai sekarang masih tayang,” tutur Dedy bangga. Binjai, Langkat, Stabat, Pangkalan Brandan, Sumedang, Subang, Pekanbaru, Depok, Papua adalah beberapa dari sekian banyak destinasi roadshow film SIB. Hal inilah yang menyebabkan film Selembar Itu Berarti meraih MURI kedua yakni kategori film dengan penonton terbanyak sebelum diputar resmi di bioskop.
Butuh enam bulan lamanya mendidik para pemain film SIB yang notabene masih dibawah umur. Membangun komunikasi dengan anak-anak juga memiliki tantangan tersendiri. Sebelum, selama dan setelah proses pembuatan film SIB, Dedy berusaha memberikan kesan baik terhadap citra anak Medan. Dedy selalu menyiapkan segala fasilitas yang diminta oleh artis senior seperti hotel berbintang, penerbangan berkelas, hingga honor pun tidak ada negosiasi.
Bangkitkan Sineas Muda
Kepiawaian Dedy menghasilkan film berpesan moral tinggi memicu banyak pertanyaan dari kalangan perfilman tanah air khususnya di kota Medan. Banyak yang bertanya dan ingin bergabung dengan komunitas tempat Dedy bernaung. Nyatanya Dedy tidak pernah mengikuti komunitas apapun. “Aku orangnya freedom. Aku nggak mau menikmati persaingan. Berkarya ya berkarya aja. Orang lain mau buat apa ya terserah,” pungkasnya.
Dedy juga selalu mengingatkan untuk fokus menghasilkan film yang bagus. Tak perlu berkecil hati lantaran belum diapresiasi. “Medan sudah bisalah tiap bulan di café atau di lapangan putar satu film. Undang banyak orang. Dua bulan sekali undang sutradara dari Jakarta sebagai narasumber. Sama-sama saling kritik, saling bahas, saling kupas, dapat ilmu lagi kan, jadi semangat lagi,” tambah Dedy.
Lulusan ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara ini juga membuka diri jika ada yang ingin sharing dengannya terutama mengenai pembuatan film dengan dana swadaya. “Uang rokok atau uang minyak pacaran coba dikumpulin, pasti bisa buat film. Jangan nyalahin lingkungan, jangan nyalahin orang lain. Festival film pendek dimana-mana ada kok,” imbuh Dedy mengakhiri.