“Semua berawal dari hobi dulu ya..” kata Richo. Dia mengaku mulai hobi melukis mulai dari kelas 2 SMA da suka ngelukis ornamen budaya batak, yang sering diilhami oleh seorang tukang tato di amerika alm. C Siagian yang konsisten dengan motifnya bataknya.
Untuk memperdalam hobi melukisnya, Richo meneruskan studi di Universitas Negeri Medan jurusan seni rupa. Berlawanan dengan stigma bahwa mural dan tato adalah pekerjaan orang-orang iseng, kurang berpendidikan, vandalisme, perusak lingkungan, kaum pembangkang, dan sebagainya, Richo berhasil membawa aktivitas ini ke ranah profesional. Walaupun tergantung dari ukuran suatu project, Richo mengaku pesanan untuk menggambar mural bisa berkisar 5-12 order per bulannya, dan untuk tato sekitar 6-8 orang per hari.
Berangkat dari melukis di kanvas, lalu mulai menggambar di jalan. Ternyata banyak rekan dan jejaring yang menyukai karya-karyanya. Seiring dengan datangnya permintaan, Richo mulai membentuk suatu tim pemural, diberinya nama Medan Mural. Menyesuaikan lukisan kanvas dengan mural di dinding, tidak begitu sulit. Selain perbedaan ukuran yang mencolok, perbedaan lukisan dan mural mungkin hanya terletak di bahan cat dan tools nya saja. Namun, menato memang punya kesulitan tersendiri, karena langsung diterapkan ke objek hidup (manusia). Jika tinta tato diharapkan adalah permanen, mural dan lukisan bisa pudar dalam beberapa tahun.