Forbes kembali merilis 50 Over 50 Asia 2024, daftar 50 perempuan Asia berprestasi berusia di atas 50 tahun. Daftar 50 Over 50 Asia berisikan para perempuan Asia berpengaruh signifikan terhadap masing-masing bidangnya pada usia mulai dari 50 tahun hingga 112 tahun.
Nama-nama yang tercatat terdiri dari para pendiri, CEO, dan inovator yang berasal dari 14 negara dan wilayah serta dari 20 lebih sektor profesi.Mereka yang terdaftar dianggap memberikan pengaruh luas di bidang pekerjaannya masing-masing, mulai dari fesyen, farmasi, keuangan, dan lainnya.
Tiga Srikandi Indonesia yang termasuk di dalamnya adalah aktris senior Christine Hakim, Direktur Utama sekaligus CEO XL Axiata Dian Siswarini, dan desainer atau tukang kain Josephine Komara. Nama mereka bersanding dengan sejumlah perempuan Asia berpengaruh lainnya dari berbagai negara.
1. Christine Hakim
Christine Hakim dianggap sebagai grand dame sinema Indonesia. Grand dame sendiri merupakan julukan untuk seorang wanita lanjut usia yang memiliki prestise atau kemampuan tinggi.
Lahir di Kuala Tungkal, Jambi pada 25 Desember 1956, Christine Hakim memulai debutnya dengan berperan di film Cinta Pertama (1973) yang disutradarai Teguh Karya. Peran perdananya itu langsung mengantarkannya meraih Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik, hingga membuatnya yakin untuk menapaki karier di dunia seni peran.
Sejak saat itu, Christine membintangi sejumlah film termasuk Badai Pasti Berlalu (1977) dan Tjoet Nja’ Dhien (1988). Karier Christine Hakim membentang dari era analog hingga digital dan membintangi film-film karya sutradara-sutradara besar dan ternama Indonesia lintas generasi. Tak hanya sebagai aktris, pada 1998, dia juga menjajal sebagai produser untuk film Daun di Atas Bantal dan Pasir Berbisik.
Aktris berusia 67 tahun itu juga dikenal berkat peran pentingnya di sejumlah film seperti proyek Hollywood, Eat Pray Love (2010), Perempuan Tanah Jahanam (2019), dan serial The Last of Us (2023) yang membuatnya menjadi pembicaraan media hingga sinefil. Sepanjang kariernya, aktris yang baru saja merayakan kiprahnya selama 50 dekade di dunia film itu telah berhasil mengantongi 9 Piala Citra, termasuk Lifetime Award di ajang Festival Film Indonesia (FFI).
Di dunia perfilman, Christine juga telah berkontribusi pada Festival Film Cannes sebagai anggota juri, dan menjabat sebagai Duta FFI pada 2023. Di luar layar perak, dia juga pernah menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk UNESCO dari 2008 hingga 2020.
2. Dian Siswarini
Selanjutnya ada Dian Siswarini yang merupakan Direktur Utama sekaligus CEO XL Axiata. Dian dianggap telah mencapai puncak karirnya, dan menjadi salah satu perempuan yang sukses berkarier di perusahaan telekomunikasi XL Axiata dengan pendapatan sebesar US$1,9 miliar.
Sebelum berkarir secara profesional, Dian mengenyam pendidikan dan memperoleh gelar sarjana Elektro dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1991. Dia juga telah mengikuti berbagai program eksekutif, salah satunya adalah Harvard Advanced Management Program, Harvard Business School di Amerika Serikat pada tahun 2013.
Lulus dari ITB, Dian langsung bekerja di PT XL Axiata Tbk pada 1991 sebagai radio engineer atau perancang jaringan radio, dan berpindah ke bagian jaringan (network), IT, digital dan marketing. Dian menjadi satu-satunya perempuan yang menduduki jabatan sebagai presiden direktur dan CEO di industri telekomunikasi Indonesia.
Dian juga dianggap memberikan pengaruh lantaran melawan stereotip tentang perempuan yang bekerja di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). “[Posisi ini] mendorong saya untuk memiliki semangat yang lebih besar untuk mengembangkan kepercayaan diri perempuan untuk mampu bekerja di bidangnya masing-masing,” tulis Dian dikutip dari laman LinkedIn pribadinya.
3. Josephine Komara
Josephine Komara adalah desainer keturunan Tionghoa-Indonesia yang dikenal sebagai pakar tekstil batik. Perempuan yang akrab disapa Obin itu bahkan dijuluki sebagai ‘harta karun nasional’ berkat ketekunannya dalam mendalami dan mempromosikan kain batik.
Sejak 1970-an, Obin giat mengumpulkan kain-kain Wastra dari seluruh pelosok Nusantara, serta mulai merancang dan menciptakan pakaian berbahan kain tradisional. Pada 1986, Obin akhirnya mendirikan rumah mode Bin House di Menteng, Jakarta Pusat, dan banyak menciptakan padu padan kain batik dan tenun lewat berbagai eksperimen.
Keistimewaan batik karya Obin ialah proses pembuatannya yang tanpa mesin melainkan sepenuhnya karya tangan. Karya-karyanya pun sudah diakui sampai ke tingkat internasional. Bahkan, desainer Edward Hutabarat dan Ghea Panggabean menganggap Obin sebagai orang yang paling bertanggung jawab pada pergerakan pembaruan batik pada pertengahan tahun 2000.